Ntvnews.id, Jakarta - Presiden Prabowo Subianto didorong merealisasikan agenda Asta Cita ke-1 nya, yaitu Penguatan Ideologi Pancasila, Demokrasi dan HAM. Hal ini harus dilakukan, apabila ingin benar-benar tercipta persatuan nasional dan bangsa menjadi maju.
Yakni dengan melakukan amnesti, abolisi dan rehabilitasi terhadap narapidana, mantan tahanan, mantan narapidana berlatar belakang atau beririsan dengan masalah politik.
"Ini merupakan pemulihan keadilan atau restorative justice antara rakyat dan negara yang sempat terbelah di era kekuasaan Presiden ke-7 Jokowi," ujar Koordinator Eksekutif JAKI Kemanusiaan Inisiatif, Yudi Syamhudi Suyuti, Selasa, 11 Februari 2025.
"Hal ini sangat penting, jika Pak Presiden Prabowo ingin Indonesia benar-benar maju dan tercapai persatuan nasional. Dan tentunya menjadi tercapainya agenda SDG's ke 16 yakni Peace, Justice and Strong Institutions (Perdamaian, Keadilan dan Kelembagaan yang Tangguh)," imbuhnya.
Agenda Presiden, kata dia perlu segera direalisasikan menyangkut amnesti, abolisi, rehabilitasi kepada tahanan, narapidana, mantan tahanan, mantan narapidana berlatar belakang atau beririsan dengan masalah politik.
Yudi mendorong hal tersebut, lantaran dirinya melihat dan mendengarkan apa yang dirasakan dari tahanan, narapidana, mantan tahanan dan mantan narapidana yang terdampak akibat hukuman-hukuman yang dinilai jauh dan tidak seimbang dengan yang dirasakan kekuasaan masa lalu, yang dipimpin Jokowi. Hal itu jika dibandingkan dengan klaim kerugian dari kekuasaan yang menghukum di masa lalu.
"Dimana kekuasaan saat itu justru tampak tidak dirugikan, dengan kritik-kritik atau kata-kata yang dilontarkan masyarakat ke pemerintah. Sementara aktivis, ibu-ibu, guru dan masyarakat umum dihukum dengan penjara, dan kekerasan," paparnya.
"Dalam hal ini mantan pemimpin kekuasaan masa lalu, yaitu Presiden ke-7 Joko Widodo sebagai penghukumnya. Apalagi hukuman-hukuman yang dihukumkan, hakikatnya dilindungi konstitusi UUD 45 dan tidak merugikan keuangan negara," imbuhnya.
Menurut dia, banyak dari mereka yang mengalami trauma, tersandera dengan diancam-ancam atas kasus-kasus hukum yang digantung untuk dipaksa diam. Serta berpotensi dihukum penjara kembali, gangguan mental, gangguan fisik, kematian.
"Hingga tidak memiliki KTP sehingga tidak dapat mendapatkan hak-haknya dalam hal layanan BPJS, tidak bisa membuka rekening bank, kehilangan hak politiknya baik memilih maupun dipilih," tutur Yudi.
"Selain itu bangkrutnya ekonomi keluarganya, bercerainya suami-istri, perpecahan keluarga dan juga fitnah-fitnah sosial yang tidak semestinya," imbuhnya.
Hukuman-hukuman ini, kata Yudi mereka dapatkan dari aktivitas ekspresi berbicara, menyampaikan pendapat dan mengkritik pemerintah atau pengusaha yang dekat dengan kekuasaan.
"Di sinilah kami mengadvokasi dengan menyebut dua subyek hukum, yaitu subyek hukum I terdiri dari tahanan, narapidana, mantan tahanan, mantan narapidana dan subyek hukum II, yaitu Presiden ke-7 Joko Widodo," paparnya.
Hal ini, kata dia menyangkut tempus delicti, locus delicti dan masa pemerintahan kekuasaan saat itu. Sehingga bukan menghujat ataupun menstigma keburukan Presiden ke-7 Joko Widodo. Akan tetapi, lanjut dia, justru hal ini dalam rangka pemulihan keadilan dan persatuan nasional yang berbasis kemanusiaan dan hak asasi manusia (HAM).
Selain itu, pentingnya penyebutan subyek hukum ke-II Presiden Joko Widodo, agar tidak melebar ke unit-unit kekuasaan pemerintahan di bawahnya yang berdampak terjadinya distorsi negara.
"Karena bagaimana pun kekuasaan pemerintah paling utama, yaitu presiden adalah sumber dari tindakan-tindakan unit-unit atau cabang-cabang kekuasaan di pemerintahannya," tuturnya.
Sehingga dalam hal ini aparat penegak hukum (APH) tidak menjadi subyek hukum. Karena tindakan-tindakannya dipengaruhi oleh kekuasaan politik pemimpin pemerintahan, yaitu presiden.
"Inilah pentingnya terjadi pemulihan keadilan melalui tindakan hukum dalam bentuk amnesti, abolisi, rehabilitasi dari Presiden Prabowo untuk para tahanan, narapidana, mantan tahanan, mantan narapidana berlatar belakang atau beririsan dengan masalah politik di masa pemerintahan Presiden ke-7 Joko Widodo," tandas Yudi.