Ntvnews.id, Jakarta - Kejaksaan Agung (Kejagung) menetapkan tiga orang dari swasta sebagai tersangka kasus dugaan korupsi tata kelola minyak mentah dan produk kilang di PT Pertamina (Persero), subholding, dan Kontraktor Kontrak Kerja Sama (KKKS) periode 2018-2023.
Dari tiga tersangka dari kalangan swasta itu salah satunya adalah pemilik manfaat PT Navigator Khatulistiwa Muhammad Kerry Adrianto Riza (MKAR).
Adapun Muhammad Kerry Adrianto Riza atau lebih dikenal sebagai Kerry Riza merupakan anak dari Mohammad Riza Chalid yang merupakan seorang pengusaha yang bergerak di berbagai sektor, termasuk ritel mode, perkebunan sawit, dan industri minyak bumi.
Riza Chalid kerap dijuluki Saudagar Minyak atau The Gasoline Godfather karena dominasinya dalam bisnis impor minyak melalui Petral.
Baca juga: Ini Profil 3 Subholding Pertamina yang Terlibat Kasus Korupsi Tata Kelola Minyak Mentah
Bahkan ia juga pernah terlibat dalam kasus Papa Minta Saham yang menyebabkan mundurnya Setya Novanto dari jabatan Ketua DPR.
Adapun dalam kasus ini menurut Kejagung, PT Pertamina Patra Niaga diduga membeli Pertalite untuk kemudian 'diolah' menjadi Pertamax. Lalu saat pembelian, Pertalite itu dibeli dengan harga Pertamax.
"Dalam pengadaan produk kilang oleh PT Pertamina Patra Niaga, Tersangka RS melakukan pembelian (pembayaran) untuk Ron 92 (Pertamax), padahal sebenarnya hanya membeli Ron 90 (Pertalite) atau lebih rendah kemudian dilakukan blending di Storage/Depo untuk menjadi Ron 92," demikian keterangan Kejagung dikutip, Selasa 25 Februari 2025.
Dalam hal ini Direktur Utama PT Pertamina Patra Niaga Riva Siahaan (RS) bersama SDS, dan AP sendiri, memenangkan DMUT/broker minyak mentah dan produk kilang yang diduga dilakukan secara melawan hukum.
Sementara, tersangka DM dan GRJ melakukan komunikasi dengan tersangka AP untuk memperoleh harga tinggi (spot) pada saat syarat belum terpenuhi dan mendapatkan persetujuan dari SDS untuk impor produk kilang.
Baca juga: Buntut Korupsi Minyak Mentah, DPR Panggil Erick Thohir dan Bos Pertamina
Dalam pengadaan produk kilang oleh PT Pertamina Patra Niaga, Riva kemudian melakukan pembelian untuk produk Pertamax (Ron 92). Padahal sebenarnya, hanya membeli Pertalite (Ron 90) atau lebih rendah.
Lalu, Pertalite tersebut di-blending di Storage/Depo untuk menjadi Ron 92. Padahal, hal tersebut tidak diperbolehkan. Selanjutnya, pada saat telah dilakukan pengadaan impor minyak mentah dan impor produk kilang, diperoleh fakta adanya mark up kontrak shipping yang dilakukan Yoki selaku Dirut PT Pertamina International Shipping.
Negara mengeluarkan fee sebesar 13 hingga 15 persen secara melawan hukum, sehingga tersangka MKAR mendapatkan keuntungan dari transaksi itu.
"Pada saat kebutuhan minyak dalam negeri mayoritas diperoleh dari produk impor secara melawan hukum, maka komponen harga dasar yang dijadikan acuan untuk penetapan HIP (Harga Index Pasar) Bahan Bakar Minyak (BBM) untuk dijual kepada masyarakat menjadi mahal/tinggi sehingga dijadikan dasar pemberian kompensasi maupun subsidi BBM setiap tahun dari APBN," kata Kejagung.
Baca juga: Respons BUMN Usai 2 Dirut Anak Usaha Pertamina jadi Tersangka Korupsi Tata Kelola Minyak
Akibat perbuatan, tersebut, negara mengalami kerugian sekitar Rp193,7 triliun.
Berdasarkan alat bukti permulaan yang cukup, Tim Penyidik menetapkan 7 (tujuh) orang Tersangka yakni sebagai berikut:
1. RS selaku Direktur Utama PT Pertamina Patra Niaga.
2. SDS selaku Direktur Feedstock and Product Optimalization PT Kilang Pertamina Internasional.
3. YF selaku Direktur Utama PT Pertamina International Shipping.
4. AP selaku VP Feedstock Management PT Kilang Pertamina Internasional.
5. MKAR selaku Beneficial Owner PT Navigator Khatulistiwa.
6. DW selaku Komisaris PT Navigator Khatulistiwa dan Komisaris PT Jenggala Maritim.
7. GRJ selaku Komisaris PT Jenggala Maritim dan Direktur Utama PT Orbit Terminal Merak.