Kejagung Ungkap Modus 'Blending’ Pertamax di Kasus Pertamina

NTVNews - Berita Hari Ini, Terbaru dan Viral - 27 Feb 2025, 15:36
thumbnail-author
Akbar Mubarok
Penulis
thumbnail-author
Siti Ruqoyah
Editor
Bagikan
Direktur Pemasaran Pusat dan Niaga Pertamina Patra Niaga Maya Kusmaya (kiri) berjalan memasuki mobil tahanan usai ditetapkan sebagai tersangka kasus dugaan korupsi dalam tata kelola minyak mentah dan produk kilang pada PT Pertamina Subholding dan Kontraktor Kontrak Kerja Sama (KKKS) tahun 2018-2023 di Kejaksaan Agung, Jakarta, Rabu (26/2/2025). Direktur Pemasaran Pusat dan Niaga Pertamina Patra Niaga Maya Kusmaya (kiri) berjalan memasuki mobil tahanan usai ditetapkan sebagai tersangka kasus dugaan korupsi dalam tata kelola minyak mentah dan produk kilang pada PT Pertamina Subholding dan Kontraktor Kontrak Kerja Sama (KKKS) tahun 2018-2023 di Kejaksaan Agung, Jakarta, Rabu (26/2/2025). (Antara)

Ntvnews.id, Jakarta - Kejaksaan Agung (Kejagung) mengungkapkan modus blending yang digunakan oleh para tersangka dalam kasus dugaan korupsi terkait tata kelola minyak mentah dan produk kilang di PT Pertamina Subholding serta Kontraktor Kontrak Kerja Sama (KKKS) antara tahun 2018 hingga 2023.

Abdul Qohar, Direktur Penyidikan pada Jaksa Agung Muda Bidang Tindak Pidana Khusus (Jampidsus) Kejagung, menjelaskan bahwa dalam transaksi tersebut, RON 90 atau yang lebih rendah, seperti RON 88, dicampur (blending) dengan RON 92 dan kemudian dijual dengan harga RON 92. Hal ini diungkapkan oleh Qohar, kamis 27 Febuari 2025.

Baca Juga : Kasus Korupsi Pertamina, Warga Beralih ke SPBU Swasta

Dalam pengungkapan awal pada Senin 24 Febuar lalu, Qohar menyebutkan bahwa tersangka sengaja mengurangi produksi kilang, sementara produksi minyak mentah domestik dari KKKS ditolak.

Untuk memenuhi kebutuhan dalam negeri, PT Kilang Pertamina Internasional terpaksa mengimpor minyak mentah dan PT Pertamina Patra Niaga mengimpor produk kilang dengan harga yang lebih tinggi dibandingkan dengan harga produksi minyak domestik.

Baca Juga : Wakil Ketua Komisi XII DPR: Tidak Ada Skema Oplosan di BBM Pertamina

Selanjutnya, dalam pengadaan produk kilang, tersangka Riva Siahaan (RS), Direktur Utama PT Pertamina Patra Niaga, melakukan pembelian untuk RON 92 meskipun yang dibeli sebenarnya adalah RON 90 atau yang lebih rendah. 

Minyak tersebut kemudian di-blending di depo atau storage untuk diubah menjadi RON 92, meskipun hal tersebut tidak dibenarkan.

Pada pengungkapan dua tersangka baru pada Rabu 26 Febuari lalu, yakni Maya Kusmaya (MK), Direktur Pemasaran Pusat dan Niaga PT Pertamina Patra Niaga, dan Edward Corne (EC), VP Trading Operations PT Pertamina Patra Niaga, ditemukan modus serupa terkait blending tersebut. 

Baca Juga : Heboh Kualitas Pertamax RON 92, Dirut Pertamina Angkat Bicara

Qohar menyebutkan bahwa keduanya, dengan persetujuan Riva Siahaan, membeli RON 90 dengan harga RON 92, yang menyebabkan pembayaran impor produk kilang dengan harga lebih tinggi dan tidak sesuai dengan kualitas barang yang diterima.

Maya Kusmaya kemudian memerintahkan Edward Corne untuk melakukan blending antara RON 88 (premium) dengan RON 92 (pertamax) agar menghasilkan RON 92. 

Proses blending ini dilakukan di terminal atau storage PT Orbit Terminal Merak yang dimiliki oleh tersangka Muhammad Kerry Andrianto Riza (MKAR), serta Gading Ramadhan Joedo (GRJ). 

Hasil blending tersebut kemudian dijual dengan harga RON 92, yang tidak sesuai dengan prosedur pengadaan produk kilang PT Pertamina Patra Niaga.

Baca Juga : Ini Daftar 12 Direktur Pertamina yang Jadi Tersangka Kasus Korupsi

Kejagung telah menetapkan sembilan tersangka dalam kasus ini, termasuk Riva Siahaan, Sani Dinar Saifuddin (SDS), Yoki Firnandi (YF), Agus Purwono (AP), Maya Kusmaya, dan Edward Corne.

Selain itu, terdapat tersangka lainnya, yakni Muhammad Kerry Andrianto Riza, Dimas Werhaspati (DW), dan Gading Ramadhan Joedo.

Akibat perbuatan para tersangka, negara mengalami kerugian sekitar Rp193,7 triliun yang terdiri dari lima komponen: kerugian ekspor minyak mentah domestik sekitar Rp35 triliun, kerugian impor minyak mentah melalui broker sekitar Rp2,7 triliun, kerugian impor BBM melalui broker sekitar Rp9 triliun, kerugian kompensasi tahun 2023 sekitar Rp126 triliun, dan kerugian subsidi tahun 2023 sekitar Rp21 triliun.

(Sumber Antara) 

x|close