Rapat Bahas Pilkada Ulang, Deddy Sitorus Marah-marah sampai Gebrak Meja

NTVNews - Berita Hari Ini, Terbaru dan Viral - 27 Feb 2025, 18:25
thumbnail-author
Moh. Rizky
Penulis
thumbnail-author
Siti Ruqoyah
Editor
Bagikan
Ketua DPP PDIP Bidang Pemenangan Pemilu Eksekutif Deddy Yevri Hanteru Sitorus (tengah) memberikan keterangan didampingi Ketua DPP PDIP Bidang Reformasi Sistem Hukum Nasional, Ronny Berty Talapessy (kiri) dan Tim Reformasi Hukum Nasional Alvon Kurnia Ketua DPP PDIP Bidang Pemenangan Pemilu Eksekutif Deddy Yevri Hanteru Sitorus (tengah) memberikan keterangan didampingi Ketua DPP PDIP Bidang Reformasi Sistem Hukum Nasional, Ronny Berty Talapessy (kiri) dan Tim Reformasi Hukum Nasional Alvon Kurnia (ANTARA (Akbar Nugroho Gumay))

Ntvnews.id, Jakarta - Anggota Komisi II DPR RI, Deddy Sitorus marah-marah. Ia bahkan sampai menggebrak meja. Momen ini terjadi saat Komisi II rapat dengan Komisi Pemilihan Umum (KPU), Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu), Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP), hingga Kemendagri, Kamis, 27 Februari 2025.

Rapat digelar terkait Mahkamah Konstitusi (MK) yang memutus pemungutan suara ulang (PSU) sebanyak 24 pilkada.

Awalnya, Deddy menyebut bahwa pemilu khususnya Pilkada 2024, merupakan yang terburuk.

"Sekali lagi terbukti apa yang diributkan orang selama ini, bahwa pemilu kita di bawah pemerintahan sebelumnya adalah pemilu paling brengsek dalam sejarah," ujar Deddy, kompleks parlemen, Senayan, Jakarta.

"Sah!," imbuhnya.

Sebab, kata dia mayoritas penyelenggaraan pilkada bermasalah. Hampir 60 persen penyelenggara Pilkada 2024, kata dia bermasalah. Ini berdasarkan sengketa Pilkada yang diadili di MK.

"Gila itu!," ucapnya.

Menurut dia, penyelenggara Pilkada dan pihak terkait seharusnya malu. Termasuk Komisi II DPR.

"Kalau kita punya budaya malu, saya kira wajar kita mundur semua. KPU, Bawaslu, Mendagri, Kapolri. Gagal kita ini, DPR juga supaya adil. Tidak apa-apa kalau perlu kita mundur berjamaah saya siap," tuturnya.

Mundur berjamaah ini, kata dia sebagai tanggung jawab kepada bangsa dan negara. Sebab hampir 60 persen pilkada bermasalah.

Menurut Deddy, pilkada yang tak diadili di MK bukan berarti tak bermasalah. Sebab ada pula yang digelar melawan kotak kosong. Ia menduga, pilkada yang tak bersengketa, lantaran pihak terkait lelah membuktikan pelanggarannya, maupun begitu masifnya pelanggaran, sehingga tak bisa membuktikan.

"Sekarang rakyat disuruh bayar lagi Rp 1 triliun, buat kelalaian kita semua. Yang bener aja tanggung jawab kita semua ini di mana?," jelas dia.

Ditambah lagi, persoalan yang jadi sengketa sehingga pilkada diulang, ialah masalah administrasi bukan substansi. Misalnya terkait ijazah palsu, masa jabatan dan lain-lain. Seharusnya, pimpinan KPU RI mundur atas kesalahan ini. KPU di daerah-daerah pun dipecat semestinya.

"Kayak keledai kita, berulang-ulang masuk ke lubang yang sama," kata dia.

Calon kepala daerah yang diminta PSU lagi, kata dia pasti memerlukan biaya. Karena tak punya uang, akhirnya segala cara dilakukan, mulai dari meminjam hingga menggadaikan barang. Ujungnya, setelah terpilih mereka berpotensi korupsi guna mengembalikan uang tersebut. Sementara, kata dia kepala daerah disoraki koruptor, yang padahal kesalahan awalnya ada di penyelenggara pemilu.

Apalagi, biaya penyelenggaraan pilkada ulang tersebut, dibebankan ke daerah. Hal ini, kata Deddy tidak adil, karena pemerintah daerah sudah terkena pemangkasan anggaran.

Menurutnya, seluruh persoalan ini takkan terjadi, apabila pihak berwenang, menjalankan tugasnya dengan baik.

"Malu kita pak!," kata Deddy seraya menggebrak meja menggunakan dokumen yang ia pegang.

"Ini bukan cuma soal anggaran, ini soal peradaban," imbuhnya.

Karena itu, Deddy meminta seluruh penyelenggara pilkada untuk mundur. Mulai dari KPU, Bawaslu, hingga Mendagri.

"Saya minta tolong bapak-bapak, ibu semua mundur," tandas politikus PDI Perjuangan (PDIP) ini.

Tags

x|close