Ntvnews.id, Jakarta - Dorongan penerapan Framework Convention on Tobacco Control (FCTC) oleh Kementerian Kesehatan (Kemenkes) melalui sejumlah rancangan regulasi, seperti Rancangan Peraturan Menteri Kesehatan (Permenkes), memicu kekhawatiran di kalangan pelaku industri tembakau.
Petani, pekerja, serta pihak terkait lainnya menilai kebijakan tersebut berpotensi mengancam keberlangsungan industri tembakau dalam negeri.
FCTC merupakan inisiatif Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) yang bertujuan menekan konsumsi tembakau secara global melalui berbagai regulasi ketat, termasuk penerapan kemasan polos tanpa identitas merek (plain packaging).
Namun, bagi banyak pihak di Indonesia, kebijakan ini dinilai tidak sejalan dengan kondisi sosial dan ekonomi masyarakat, mengingat tembakau telah menjadi bagian penting dalam perekonomian nasional.
Wakil Sekretaris Jenderal Himpunan Kerukunan Tani Indonesia (HKTI), Muhammad Sirod, menyatakan bahwa kebijakan terkait kemasan polos berpotensi membawa dampak besar terhadap industri tembakau di Indonesia.
"Industri tembakau ini dari hulu ke hilirnya bagus. Devisa untuk negara juga mencapai ratusan triliun. Bisa dikatakan tembakau ini adalah anak bungsu yang sering disorot, namun sebenarnya banyak manfaatnya," ungkap Sirod dalam keterangannya, Senin, 10 Maret 2025.
Menurutnya, jika kebijakan plain packaging diterapkan, sejumlah sektor terkait akan terdampak, termasuk industri percetakan kemasan. Hal ini berpotensi menurunkan jumlah lapangan pekerjaan dan memengaruhi perekonomian nasional secara lebih luas.
Di tengah meningkatnya angka pemutusan hubungan kerja (PHK) di berbagai sektor, seperti yang terjadi di industri tekstil dengan bangkrutnya Sritex yang mengakibatkan lebih dari 10.000 pekerja kehilangan pekerjaan, kebijakan yang mengancam industri tembakau dinilai dapat memperburuk situasi ketenagakerjaan.
Sirod juga menyoroti bahwa tidak semua kebijakan global terkait tembakau harus diadopsi Indonesia. Ia menilai ada kepentingan ekonomi besar di balik dorongan ratifikasi FCTC oleh negara-negara yang bukan produsen tembakau.
"Negara-negara yang mendukung FCTC memiliki kepentingan besar terhadap pasar rokok global, dan ini dapat merugikan negara-negara penghasil tembakau seperti Indonesia," tegasnya.
Jutaan Pekerja Berisiko Kehilangan Mata Pencaharian
Sekretaris Jenderal Asosiasi Petani Tembakau Indonesia (APTI), Kusnadi Mudi, menyatakan bahwa dorongan untuk meratifikasi FCTC tidak sesuai dengan ekosistem industri tembakau di Indonesia. Ia menekankan bahwa sektor ini memiliki peran besar dalam menopang perekonomian nasional.
"Kami dengan tegas menolak intervensi asing yang bermaksud mengacak-acak keberlangsungan pertanian tembakau. Tembakau di Indonesia menjadi sumber penghidupan bagi enam juta tenaga kerja yang terlibat dalam industri ini," ujarnya.
Mudi juga mengungkapkan bahwa cukai hasil tembakau (CHT) menyumbang sekitar 96-97% dari total penerimaan negara dari sektor bea dan cukai. Selain sebagai penyumbang pendapatan negara, industri ini juga menjadi penyerap tenaga kerja dari berbagai sektor, mulai dari petani hingga distribusi.
Pembatasan yang terlalu ketat terhadap industri tembakau dinilai dapat mengakibatkan kehilangan lapangan kerja serta melemahkan ekonomi daerah yang bergantung pada hasil tembakau, terutama saat musim kemarau.
"Tembakau adalah satu-satunya tanaman yang dapat tumbuh dengan baik di musim kemarau dan menjadi sumber penghidupan utama bagi jutaan petani di berbagai daerah," kata Mudi.
Selain itu, ia menegaskan bahwa keberadaan industri tembakau juga berdampak luas terhadap sektor informal, termasuk buruh pabrik, pengrajin kemasan, hingga pedagang kecil yang menggantungkan hidupnya pada distribusi produk tembakau.
"Jika aturan ini diterapkan, dampaknya akan sangat luas, bukan hanya bagi petani, tetapi juga bagi buruh, pekerja di industri percetakan, dan sektor-sektor lainnya," imbuhnya.
Harapan Pelaku Industri terhadap Pemerintahan Baru
Di tengah perubahan kepemimpinan nasional di bawah Presiden Prabowo Subianto, pelaku industri tembakau berharap adanya perlindungan terhadap sektor ini. Menurut Mudi, industri hasil tembakau memiliki potensi besar dalam membantu pemerintah mencapai target pertumbuhan ekonomi serta memperluas lapangan kerja.
"Kami berharap pemerintahan Prabowo dapat melihat dan menyadari betapa dorongan ratifikasi FCTC ini sangat tidak sesuai dengan situasi dan konteks yang ada di dalam negeri," katanya.
Ia juga menegaskan bahwa keberadaan industri tembakau sejalan dengan visi pemerintahan baru dalam mendorong kemandirian ekonomi dan kesejahteraan rakyat.
"Tembakau sebagai komoditas memiliki sejarah panjang serta merupakan penggerak ekonomi nasional yang harus dipertahankan," tambahnya.
Lebih lanjut, industri tembakau dinilai selaras dengan Asta Cita Presiden Prabowo, terutama dalam aspek swasembada pangan, penciptaan lapangan kerja yang berkualitas, serta upaya pemberantasan kemiskinan.
"Kami para petani adalah warga negara Indonesia yang hak hidupnya dilindungi sesuai UUD 1945, dan kami berharap pemerintah tidak melupakan kami dalam kebijakan-kebijakannya," tegas Mudi.
Di tengah tekanan global terhadap industri tembakau, diharapkan pemerintah dapat mempertimbangkan seluruh aspek sebelum mengambil keputusan, termasuk dampak sosial dan ekonomi yang dapat terjadi. Kebijakan yang terburu-buru dalam mengadopsi regulasi asing berisiko merugikan jutaan pekerja yang menggantungkan hidupnya pada sektor ini.
Para petani dan pekerja di industri tembakau berharap agar regulasi yang diterapkan tetap memperhatikan keseimbangan antara isu kesehatan masyarakat dan dampak ekonomi, sehingga kebijakan yang diambil dapat menjadi solusi bagi semua pihak.
"Semua harus berjalan beriringan. Pemerintah harus mampu menolak semua bentuk gerakan dan konspirasi dari mana pun yang berupaya menghancurkan kedaulatan negara ini," pungkas Mudi.