Ntvnews.id, Jakarta - Duta Besar Afrika Selatan, Ebrahim Rasool, dituduh membenci Amerika Serikat dan Presiden Donald Trump, yang berujung pada pengusirannya dari AS.
Menteri Luar Negeri AS, Marco Rubio, mengumumkan pengusiran Rasool melalui media sosial X pada Jumat, 14 Maret 2025 waktu setempat.
"Duta Besar Afrika Selatan untuk Amerika Serikat tidak lagi diterima di negara kita yang hebat ini," ujar Rubio dalam pernyataannya, seperti dikutip AFP, Senin, 17 Maret 2025.
Rubio menuduh Rasool sebagai "politisi yang gemar menghasut tentang ras, yang membenci Amerika dan membenci @POTUS," merujuk pada Trump sebagai Presiden AS.
"Kami tidak memiliki hal untuk dibicarakan dengannya dan oleh karena itu, dia ditetapkan PERSONA NON GRATA," tambah Rubio dalam pernyataannya.
Baca Juga: Trump Stop Pendanaan, Media Global AS Terancam Gulung Tikar
Dalam dunia diplomasi, istilah "persona non grata" berasal dari bahasa Latin dan digunakan untuk menyatakan bahwa seseorang tidak diinginkan atau tidak diterima oleh suatu negara. Penetapan ini umumnya digunakan sebagai sanksi pengusiran terhadap diplomat atau pejabat asing.
Langkah AS mengusir seorang duta besar tergolong sangat jarang terjadi.
Rubio juga menyertakan artikel dari Breitbart, media berita konservatif, yang mengulas pernyataan Rasool dalam seminar kebijakan luar negeri pada Jumat, 14 Maret 2025. Pernyataan itulah yang memicu tuduhan bahwa Rasool membenci AS dan Trump.
"Dia (Rasool) mengatakan bahwa supremasi kulit putih memotivasi 'rasa tidak hormat' Trump terhadap 'tatanan hegemoni saat ini' di dunia," demikian isi artikel Breitbart.
Selain itu, dalam seminar tersebut, Rasool juga menyebut bahwa gerakan Make America Great Again (MAGA) yang dipimpin Trump merupakan bentuk reaksi supremasi kulit putih terhadap semakin beragamnya demografi di AS.
Rasool sendiri merupakan mantan aktivis anti-apartheid yang pernah mengungkapkan kemarahannya terhadap perang yang dilakukan Israel di Jalur Gaza.
Afrika Selatan Menyesalkan Pengusiran Dubesnya
Pemerintah Afrika Selatan menyayangkan keputusan AS mengusir Ebrahim Rasool, yang dituduh membenci negara itu dan Presiden Trump. Mereka menyerukan agar hubungan diplomatik tetap terjaga dengan baik.
Dalam pernyataan yang dirilis kantor kepresidenan Afrika Selatan, seperti dilaporkan AFP pada Sabtu, 15 Maret 2025, mereka mengungkapkan kekecewaannya terhadap langkah AS.
"Kepresidenan telah mengetahui pengusiran yang disesalkan terhadap Duta Besar Afrika Selatan untuk Amerika Serikat, Tuan Ebrahim Rasool," tulis pernyataan tersebut.
Baca Juga: Dubes Afrika Selatan Diusir dari AS, Diberi Waktu 72 Jam!
Pemerintah Afrika Selatan juga mendesak semua pihak terkait agar menjaga norma-norma diplomatik dalam menyikapi persoalan ini.
"Kepresidenan mendesak semua pemangku kepentingan yang terkait dan terdampak untuk menjaga kesopanan diplomatik yang telah ditetapkan dalam keterlibatan terkait masalah ini," lanjut pernyataan tersebut.
Meskipun terjadi ketegangan, Afrika Selatan menegaskan komitmennya untuk tetap membangun hubungan yang saling menguntungkan dengan AS.
Pengusiran Rasool semakin memperburuk hubungan antara Washington dan Pretoria yang telah memanas dalam beberapa waktu terakhir. Pada Februari lalu, Trump membekukan bantuan AS untuk Afrika Selatan dengan alasan adanya undang-undang yang disebutnya memungkinkan perampasan tanah dari petani kulit putih.
Ketegangan meningkat ketika pekan lalu Trump menyatakan bahwa petani Afrika Selatan dipersilakan untuk pindah ke AS.
Dalam unggahannya di media sosial Truth Social, Trump menyampaikan bahwa "setiap petani (beserta keluarganya) dari Afrika Selatan yang ingin melarikan diri demi alasan keamanan akan diundang ke Amerika Serikat dengan jalur cepat menuju kewarganegaraan."
Elon Musk, miliarder asal Afrika Selatan yang kini menjadi sekutu dekat Trump, juga menuduh pemerintahan Presiden Afrika Selatan Cyril Ramaphosa memberlakukan "undang-undang kepemilikan tanah yang secara terang-terangan rasis."
Isu kepemilikan tanah memang menjadi topik sensitif di Afrika Selatan. Meskipun apartheid telah berakhir lebih dari tiga dekade lalu, sebagian besar lahan pertanian masih dimiliki oleh orang-orang kulit putih. Hal ini membuat pemerintah berada di bawah tekanan untuk melaksanakan reformasi agraria.