Ntvnews.id, Jakarta - Sebelas mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Andalas mengajukan permohonan kepada Mahkamah Konstitusi (MK) untuk mencabut ketentuan mengenai penyebaran kebencian terhadap kelompok masyarakat tertentu yang tertuang dalam Pasal 28 Ayat (2) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2024 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE).
Dalam sidang perbaikan permohonan di MK, Jakarta, pada Senin, 17 Maret 2025, para pemohon yang hadir secara daring juga meminta MK menyatakan bahwa Pasal 45A Ayat (2) UU ITE, yang mengatur sanksi pidana atas Pasal 28 Ayat (2), bertentangan dengan konstitusi.
Baca Juga: Pesan Prabowo Buat Mendikti: Bina Kampus Agar Mahasiswa Tak Terhasut
"Menyatakan Pasal 28 Ayat (2) Pasal 45A Ayat (2) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2024 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik inkonstitusional dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat,” kata perwakilan para Pemohon, Muhammad Zhafran Hibrizi, Senin, 17 Maret 2025.
Pasal 28 Ayat (2) UU ITE melarang setiap orang dengan sengaja dan tanpa hak mendistribusikan atau mentransmisikan informasi elektronik maupun dokumen elektronik yang bersifat menghasut, mengajak, atau memengaruhi orang lain hingga menimbulkan kebencian atau permusuhan terhadap individu atau kelompok masyarakat tertentu berdasarkan ras, kebangsaan, etnis, warna kulit, agama, kepercayaan, jenis kelamin, disabilitas mental, atau disabilitas fisik.
Sementara itu, Pasal 45A Ayat (2) UU ITE menetapkan bahwa siapa pun yang melakukan perbuatan sebagaimana diatur dalam Pasal 28 Ayat (2) dapat dikenakan hukuman penjara maksimal enam tahun dan/atau denda hingga Rp1 miliar.
Baca Juga: Nilai Ketahanan Digital Penting, Menteri Riefky Ajak Mahasiswa Kolaborasi di Ekonomi Kreatif
Para pemohon berpendapat bahwa pasal tersebut tidak memiliki batasan atau kriteria yang jelas, terutama dalam frasa “rasa kebencian atau permusuhan” serta “masyarakat tertentu.”
Mereka menilai ketidakjelasan ini berpotensi menimbulkan perbedaan tafsir yang rentan terhadap penyalahgunaan hukum dan diskriminasi, sehingga bertentangan dengan Pasal 28E Ayat (3) serta Pasal 28D Ayat (1) UUD NRI Tahun 1945.
Dalam berkas permohonannya, para pemohon menyoroti bahwa frasa “rasa kebencian atau permusuhan” tidak memiliki batasan yang jelas mengenai tindakan seperti apa yang dapat dikategorikan dalam istilah tersebut.
Baca Juga: Kemenag Ajak Mahasiswa dan Santri Terapkan Nilai-nilai Deklarasi Istiqlal lewat Budaya
Mereka berpendapat bahwa jika seseorang menyebarkan informasi yang bersifat menghasut, mengajak, atau memengaruhi orang lain, tetapi tidak benar-benar menimbulkan kebencian atau permusuhan, maka seharusnya tidak dapat dianggap melanggar Pasal 28 Ayat (2) dan tidak boleh dikenai sanksi pidana berdasarkan Pasal 45A Ayat (2) UU ITE.
"Lantas, ukuran dari timbulnya rasa kebencian dan permusuhan tidak dapat diukur dan dihitung dengan angka, sebab bersifat abstrak,” kata para Pemohon dalam berkas permohonannya.
Para pemohon berpendapat bahwa suatu pasal dapat dikatakan memiliki ukuran yang jelas apabila mengacu pada kerugian materiil yang dapat dihitung secara pasti dalam jumlah dan angka.
Sementara itu, mereka menilai bahwa rasa kebencian dan permusuhan termasuk dalam kategori kerugian immateriil yang sifatnya subjektif dan tidak dapat diukur secara konkret.
Baca Juga: Mendikbudristek Jamin UKT Mahasiswa Tidak Naik
"Bisa jadi korban A merasakan kerugian tersebut dikarenakan menimbulkan rasa benci atau permusuhan oleh orang lain terhadap dirinya dikarenakan informasi yang tersebar, sedangkan korban B tidak merasakan hal tersebut dan terlihat biasa saja,” demikian argumentasi Pemohon.
Selain itu, mereka juga berpendapat bahwa frasa “masyarakat tertentu” berpotensi menimbulkan berbagai tafsir yang berbeda.
Kesalahan dalam menafsirkan frasa tersebut dikhawatirkan dapat merugikan siapa saja yang menyampaikan kritik terhadap suatu komunitas sosial yang tidak memiliki afiliasi berdasarkan ras, kebangsaan, etnis, warna kulit, agama, kepercayaan, jenis kelamin, disabilitas mental, atau disabilitas fisik.
Mereka juga menilai bahwa frasa “masyarakat tertentu” tidak memiliki batasan yang jelas, sehingga menimbulkan ketidakpastian apakah yang dimaksud adalah kelompok yang mendapat perlindungan hukum atau sekadar kelompok yang memiliki karakteristik tertentu, seperti ras, etnis, atau agama.
Baca Juga: Prabowo Bicara Soal Angka 8 Membawa Keberuntungan bagi Dirinya dan Indonesia
"Ketidakjelasan ini membuka peluang interpretasi yang diskriminatif terhadap kelompok atau individu tertentu,” imbuh mereka dalam permohonannya.
Hukum Universitas Andalas meminta Mahkamah Konstitusi (MK) untuk menyatakan Pasal 28 Ayat (2) dan Pasal 45A Ayat (2) UU ITE sebagai ketentuan yang inkonstitusional dan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat.
Sebagai alternatif, para pemohon juga mengajukan petitum agar setidaknya frasa “masyarakat tertentu” dinyatakan inkonstitusional dan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat.
Selain itu, mereka meminta agar frasa “kebencian dan permusuhan” juga dinyatakan inkonstitusional dan tidak berkekuatan hukum mengikat, kecuali jika diberikan penjelasan yang lebih jelas.
Permohonan ini telah diregistrasi dengan Nomor 187/PUU-XXII/2024. Para pemohon terdiri dari Muhammad Zhafran Hibrizi, Basthotan Milka Gumilang, Adria Fathan Mahmuda, Suci Rizka Fadhilla, Nia Rahma Dini, Qurratul Hilma, Fadhilla Rahmadiani Fasya, Adam Fadillah Al Basith, Hafiz Haromain Simbolon, Khoilullah MR, dan Tiara.
(Sumber: Antara)