Ntvnews.id, Jakarta - Pedagang pasar semakin khawatir dengan dampak yang ditimbulkan oleh rancangan Peraturan Menteri Kesehatan (Permenkes) terkait penyeragaman kemasan rokok tanpa identitas merek.
Selain itu, kebijakan zonasi penjualan rokok dalam radius 200 meter dari satuan pendidikan dan tempat bermain anak, sebagaimana diatur dalam Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 28 Tahun 2024, juga dinilai bisa mengancam kelangsungan usaha mereka.
Kedua aturan ini dianggap berpotensi menggerus pendapatan pedagang yang mengandalkan penjualan rokok sebagai sumber pemasukan utama.
Sekretaris Jenderal Asosiasi Pedagang Pasar Seluruh Indonesia (APPSI), Mujiburrohman, menilai bahwa kebijakan kemasan rokok tanpa merek tidak akan efektif dalam mengurangi jumlah perokok di Indonesia.
Ia menegaskan bahwa pendekatan edukasi lebih penting dalam menekan angka perokok, terutama di kalangan anak di bawah umur yang masih bergantung pada uang orang tua.
"Kesadaran akan risiko kesehatan dapat membantu mengurangi minat merokok di kalangan pemuda," jelas Mujiburrohman dalam keterangannya, Rabu, 19 Maret 2025.
Sebagai bentuk dukungan terhadap upaya pemerintah dalam menekan prevalensi perokok di bawah umur, pedagang pasar siap berkontribusi dengan memasang stiker 21+ di tempat berjualan serta mengedukasi konsumen.
“Kami sangat siap mendukung pemerintah dalam hal ini. Jika pedagang pasar dilibatkan, kami sangat senang,” kata Mujiburrohman.
Senada, Ketua Umum Asosiasi Pasar Rakyat Seluruh Indonesia (APARSI), Suhendro, turut mengungkapkan keberatannya terhadap kebijakan tersebut. Ia menyebut bahwa penyeragaman kemasan rokok tanpa identitas merek akan menyulitkan pedagang sekaligus konsumen.
Pasalnya, konsumen biasanya sudah memiliki preferensi terhadap merek tertentu, sehingga ketiadaan identitas pada kemasan bisa membuat pedagang kesulitan dalam memenuhi permintaan pembeli.
"Ini pasti berdampak pada penurunan omzet,” imbuhnya.
Lebih lanjut, Suhendro juga menyoroti aturan zonasi penjualan rokok dalam radius 200 meter dari sekolah dan tempat bermain anak yang dinilai akan semakin membebani pedagang. Menurutnya, rokok merupakan salah satu produk fast moving yang menjadi daya tarik bagi pelanggan untuk datang ke pasar.
Jika kebijakan ini diterapkan, dampak negatifnya terhadap pedagang akan sangat besar. Bahkan, Suhendro memperingatkan bahwa pedagang bisa merasa dirugikan hingga berpotensi melakukan aksi protes.
Selain itu, ia mengkritik langkah pemerintah yang dianggap terlalu banyak meniru kebijakan luar negeri tanpa mempertimbangkan realitas sosial dan ekonomi di Indonesia. Ia menilai bahwa kebijakan semacam ini tidak benar-benar menyasar akar permasalahan dan hanya membebani pedagang kecil.
"Pemerintah seharusnya fokus pada edukasi, bukan membatasi penjualan rokok yang justru merugikan pedagang,” tegas Suhendro.
Sebagai solusi, ia mendorong pemerintah untuk lebih mengutamakan edukasi yang menyeluruh, seperti memasang stiker larangan penjualan rokok kepada mereka yang berusia di bawah 21 tahun. Menurutnya, pendekatan edukatif lebih efektif dalam menurunkan angka perokok di kalangan generasi muda dibandingkan kebijakan pembatasan penjualan.
Suhendro berharap pemerintah dapat meninjau kembali kebijakan penyeragaman kemasan rokok serta aturan zonasi yang dinilai merugikan pedagang pasar.
“Kami meminta pemerintah untuk lebih bijak dalam mengambil kebijakan. Jangan sampai kebijakan yang dibuat justru menyulitkan rakyat kecil,” pungkasnya.