Ntvnews.id, Jakarta - KPK menyita 24 aset dengan total nilai Rp882 miliar dalam kasus dugaan korupsi pemberian fasilitas kredit oleh Lembaga Pembiayaan Ekspor Indonesia (LPEI).
“KPK telah melakukan penyitaan aset atas nama perusahaan yang terafiliasi dengan tersangka, yakni sebanyak 22 aset di Jabodetabek serta 2 aset di Surabaya,” kata Direktur Penyidikan KPK Asep Guntur Rahayu, Jumat 21 Maret 2025.
Baca Juga : KPK Tahan 2 Tersangka Terkait Kasus Korupsi LPEI
Lebih lanjut, Asep menyampaikan bahwa penilaian terhadap 24 aset senilai Rp882 miliar dilakukan berdasarkan Zona Nilai Tanah (ZNT).
Sementara itu, sepanjang Maret, KPK telah menahan tiga tersangka terkait dugaan korupsi LPEI.
Ketiga tersangka tersebut adalah Direktur Utama PT Petro Energy (PE) Newin Nugroho yang ditahan pada 13 Maret, serta Presiden Direktur PT Caturkarsa Megatunggal sekaligus Komisaris Utama PT PE Jimmy Masrin dan Direktur Keuangan PT PE Susi Mira Dewi Sugiarta yang ditahan pada 20 Maret.
Pemberian kredit LPEI kepada PT Petro Energy (PE) menyebabkan kerugian negara sebesar 18,07 juta dolar AS dan Rp594,144 miliar, dengan total sekitar Rp891,305 miliar.
Baca Juga : Korupsi di LPEI, KPK Tahan 1 Tersangka
Lebih lanjut, Asep menjelaskan bahwa kasus ini diduga bermula dari benturan kepentingan antara Direktur LPEI dan debitur PT PE, yang diawali dengan kesepakatan untuk mempermudah proses pemberian kredit.
Selain itu, Direktur LPEI tidak melakukan pengawasan terhadap penggunaan kredit sesuai dengan Manajemen Aset dan Piutang (MAP) serta tetap menginstruksikan bawahannya untuk mencairkan kredit meskipun tidak memenuhi kelayakan.
Baca Juga : KPK Sebut Kasus Korupsi LPEI Berpotensi Rugikan Negara Rp11,7 triliun
“Jadi, sebetulnya hasil pengecekan ada informasi masuk dari bawahan di LPEI bahwa debitur ini tidak cocok untuk mendapatkan kucuran kredit, tetapi tetap saja karena di awal sudah ada pembicaraan-pembicaraan, ada CoI (conflict of interest/konflik kepentingan),” jelasnya.
PT PE juga diduga memalsukan dokumen purchase order (pesanan pembelian) dan invoice (faktur) yang menjadi dasar pencairan dana, sehingga menyebabkan kerugian bagi negara.
(Sumber Antara)