Ntvnews.id, Jakarta - Kasus dugaan pencabulan terhadap anak di bawah umur oleh mantan Kapolres Ngada, AKBP Fajar Widyadharma Lukman, saat ini memasuki babak baru. Usai diberhentikan secara tidak hormat (PTDH) dari Polri, Fajar kini harus menghadapi proses hukum pidana, di mana ia telah ditetapkan sebagai tersangka dan dijerat pasal berlapis.
Ia dijerat Pasal 14 ayat 1 huruf a dan b serta Pasal 15 ayat 1 huruf e, g, j Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2022 tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual. Fajar juga dijerat dengan Pasal 45 ayat 1 junto Pasal 27 ayat 1 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2024 tentang Perubahan Kedua UU ITE karena adanya unsur perekaman.
Kasubdit IV Ditreskrimsus Polda NTT, AKBP Bertha Hagge, membeberkan sejumlah fakta baru dalam kasus ini. Salah satu bukti yang diterima pihaknya adalah delapan potongan rekaman video terkait dugaan tindakan asusila AKBP Fajar yang diperoleh dari Australian Federal Police (AFP).
"Setelah menerima surat dari Divisi Internasional Polri dan Polda NTT pada 14 Januari 2025, kami mendapat delapan potongan rekaman dari AFP," ujar Bertha, dikutip Minggu, 23 Maret 2025.
Walau demikian, dalam rekaman itu wajah AKBP Fajar tak tampak. Video hanya menampilkan wajah korban.
"Dalam rekaman tidak ditunjukkan wajah yang bersangkutan, tetapi hanya wajah korban," kata Bertha.
Berdasarkan surat yang diterima polisi, kejadian asusila tersebut terjadi di sebuah hotel di Kupang, Nusa Tenggara Timur. Berdasarkan penyelidikan lebih lanjut, dua korban dalam kasus ini diketahui memiliki hubungan keluarga.
"Berdasarkan hasil pemeriksaan pihak hotel, peristiwa terjadi pada 15 Januari dan 25 Januari 2025 dengan dua korban berbeda. Korban pertama berusia 16 tahun dan korban kedua berusia 13 tahun. Mereka adalah sepupu kandung dan berhubungan dengan tersangka melalui aplikasi MiChat," beber Bertha.
Kasus ini juga berpotensi masuk dalam kategori tindak pidana perdagangan orang (TPPO) karena adanya transaksi melalui aplikasi daring.
Polisi pun mengklarifikasi informasi yang sebelumnya beredar terkait dugaan korban yang masih berusia tiga tahun. Menurut Bertha, informasi tersebut tidak benar. "Pada 11 Juni 2024, usia anak tersebut baru lima tahun tiga bulan," ucapnya.
Selain itu, AKBP Fajar tidak menggunakan identitas samaran saat check-in di hotel. Polda NTT memastikan hal ini setelah melakukan interogasi terhadap pihak hotel.
"Saat check-in, beliau tidak menyembunyikan identitasnya. Nama yang digunakan sesuai dengan identitas aslinya, yakni AKBP Fajar Widyadharma," jelas Bertha.
Kala peristiwa terjadi pada 11 Juni 2024, AKBP Fajar masih menjabat sebagai Kapolres Sumba Timur. Kemudian, saat peristiwa pada 15 Januari dan 25 Januari 2025, ia sudah menjabat sebagai Kapolres Ngada. Bertha menegaskan bahwa kehadiran tersangka di Kupang kala itu terkait urusan dinas, bukan untuk melakukan tindakan asusila.
Polda NTT memastikan bahwa kasus ini diproses dengan cepat. Setelah dilakukan penyelidikan mendalam dan mengumpulkan bukti-bukti, termasuk identitas pelaku, korban, lokasi kejadian, serta barang bukti, proses hukum terus berjalan.
"Tanggal 23 Februari 2025 interogasi terakhir terhadap tersangka dilakukan. Sehari kemudian, ia diterbangkan ke Jakarta setelah hasil koordinasi dengan Kabid Propam. Gelar perkara dilakukan pada 3 Maret 2025 dan laporan polisi dibuat. Kemudian, pada 20 Maret 2025, berkas tahap satu sudah diserahkan ke kejaksaan," kata Bertha.
Kini, penyidik kepolisian masih menunggu tanggapan dari jaksa penuntut umum (JPU) terkait kelengkapan berkas perkara. Jawaban dari Kejaksaan Tinggi (Kejati) diperkirakan baru akan diperoleh pada April 2025, usai masa libur usai.