Ntvnews.id
Hal tersebut diungkapkan Direktur Dewan Ekonomi Nasional Gedung Putih, Kevin Hassett, pada Minggu, 6 April 2025. Ia menyebutkan bahwa kebijakan tarif tersebut telah mendorong berbagai negara untuk segera menyesuaikan strategi perdagangan mereka agar tidak terdampak langsung oleh lonjakan bea masuk ke pasar Amerika.
“Faktanya, negara-negara tersebut marah dan melakukan aksi balasan -- tetapi, di saat yang sama, mereka datang ke meja perundingan. Saya menerima laporan dari Kantor Perwakilan Dagang AS semalam bahwa lebih dari 50 negara telah menghubungi Presiden untuk memulai negosiasi," ujar Hassett dalam wawancara dengan ABC News.
Baca juga: Usai Bertemu Prabowo, Anwar Ibrahim: Kami Bahas Isu Serantau dan Tarif Baru Amerika
"Mereka melakukannya karena menyadari bahwa beban tarif itu sebagian besar mereka yang tanggung. Karena itu, saya kira dampaknya terhadap konsumen di AS tidak akan terlalu besar," kata Hassett lagi.
"Saya juga percaya bahwa salah satu penyebab defisit perdagangan jangka panjang yang terus-menerus terjadi adalah karena negara-negara tersebut memiliki pasokan yang sangat tidak elastis,” ujar Hassett menambahkan.
Pada Rabu lalu, 2 April 2025, Presiden Donald Trump secara resmi mengumumkan kebijakan tarif impor "resiprokal" atau timbal balik terhadap produk dari berbagai negara.
Tarif minimum ditetapkan sebesar 10 persen, namun angka ini akan disesuaikan berdasarkan negara asal produk. Nilai tarif akan setara dengan setengah dari tarif yang diberlakukan negara tersebut terhadap barang-barang impor asal Amerika Serikat.
Menurut Trump, kebijakan ini merupakan “deklarasi kemerdekaan ekonomi” bagi Amerika Serikat dan diharapkan mampu memanfaatkan “triliunan dolar” untuk membantu membayar utang nasional.
Sementara itu, untuk produk impor yang berasal dari negara-negara Uni Eropa, tarif yang dikenakan ditetapkan sebesar 20 persen. (Sumber: Antara)