Prabowo Tak Sepakat Koruptor Dihukum Mati, Yusril: Itu Sesuai Hukum Positif

NTVNews - Berita Hari Ini, Terbaru dan Viral - 9 Apr 2025, 09:50
thumbnail-author
Dedi
Penulis
thumbnail-author
Siti Ruqoyah
Editor
Bagikan
Menteri Koordinator Bidang Hukum, HAM, Imigrasi, dan Pemasyarakatan Yusril Ihza Mahendra dalam wawancara Menteri Koordinator Bidang Hukum, HAM, Imigrasi, dan Pemasyarakatan Yusril Ihza Mahendra dalam wawancara (Antara)

Ntvnews.id, Jakarta - Yusril Ihza Mahendra, Menteri Koordinator Bidang Hukum, HAM, Imigrasi, dan Pemasyarakatan, menyatakan dukungan terhadap sikap Presiden Prabowo Subianto yang menolak hukuman mati bagi koruptor. Ia menegaskan bahwa hukuman tersebut tidak sejalan dengan hukum positif di Indonesia.

“Apa yang dikatakan oleh Presiden Prabowo mengenai hukuman mati bagi tindak pidana korupsi itu benar dilihat dari segi hukum positif yang berlaku," kata Yusril dalam keterangan tertulis yang dilansir pada Rabu, 9 April 2025.

Ia menjelaskan bahwa Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi memang membuka peluang hukuman mati, tetapi hanya dalam kondisi luar biasa, seperti perang, krisis ekonomi, atau bencana nasional. Meski demikian, hingga kini belum pernah ada vonis hukuman mati bagi pelaku korupsi.

Yusril juga menyebut, jika vonis mati sudah berkekuatan hukum tetap (inkracht), Presiden masih memiliki kewenangan memberi grasi atau amnesti. Sementara pelaksanaan eksekusi menjadi tanggung jawab Kejaksaan Agung.

“Kalaupun grasi atau amnesti tidak diberikan, kapan eksekusi hukuman mati akan dilaksanakan, hal itu sepenuhnya menjadi kewenangan pemerintah dalam hal ini Kejaksaan Agung,” jelas Yusril.

Saat ini, Indonesia sedang memasuki masa transisi menuju KUHP Nasional yang mulai berlaku pada 2026. Dalam KUHP baru, hukuman mati tidak langsung dieksekusi, tetapi dievaluasi terlebih dahulu selama 10 tahun.

“Dalam KUHP Nasional ini, hukuman mati yang dijatuhkan tidak dapat langsung dilaksanakan. Terpidana mati lebih dahulu harus ditempatkan dalam tahanan selama 10 tahun untuk dievaluasi apakah yang bersangkutan benar-benar sudah taubatan nasuha dalam arti amat menyesali perbuatannya atau tidak," katanya.

Jika terbukti telah bertobat, hukuman bisa diubah menjadi penjara seumur hidup. Ketentuan ini berlaku untuk seluruh narapidana mati, baik WNI maupun WNA. Pemerintah juga sedang menyusun undang-undang pelaksanaannya.

Yusril menambahkan bahwa perubahan hukum ini juga berdampak pada narapidana yang dihukum mati berdasarkan KUHP lama. Menurutnya, prinsip hukum yang paling menguntungkan terpidana harus digunakan.

“Saya kira RUU Pelaksanaan Hukuman Mati nanti akan mengatur hal itu dengan jelas agar ada kepastian hukum,” ungkapnya.

Ia menilai, sikap Presiden Prabowo yang menolak eksekusi mati mencerminkan pandangan kenegarawanan dan menjunjung tinggi nilai kemanusiaan.

“Itulah maksud Presiden Prabowo, sebagai Presiden beliau tidak ingin melaksanakan hukuman mati terhadap napi mana saja dan kasus apa saja. Sebab jika seseorang sudah dieksekusi mati, tidak ada lagi kesempatan kita menghidupkan kembali orang tersebut, walaupun hakim sudah menyatakan 99,9 persen orang itu terbukti bersalah. Tetapi tetap tersisa 0,1 persen kemungkinan dia tidak bersalah. Itu maksud Presiden Prabowo," terang Yusril.

"Presiden berbicara bukan sebagai seorang hakim, tetapi sebagai seorang negarawan, sebagai bapak bangsa yang berjiwa besar dan mengedepankan sisi kemanusiaan daripada sisi lainnya,” ujarnya.

 

x|close