Isu Kemasan Rokok Polos Jadi Sorotan DPR, Disebut Bisa Picu PHK Massal

NTVNews - Berita Hari Ini, Terbaru dan Viral - 10 Apr 2025, 19:30
thumbnail-author
Tasya Paramitha
Penulis
thumbnail-author
Editor
Bagikan
Ilustrasi kemasan rokok. Ilustrasi kemasan rokok. (Ntvnews.id)

Ntvnews.id, Jakarta - Parlemen melayangkan kritik tajam terhadap langkah Kementerian Kesehatan (Kemenkes) yang dinilai mencoba menyisipkan kebijakan penyeragaman kemasan rokok tanpa identitas merek ke dalam Rancangan Peraturan Menteri Kesehatan (Permenkes).

Kebijakan tersebut mengacu pada aturan Framework Convention on Tobacco Control (FCTC), yang merupakan inisiatif dari Organisasi Kesehatan Dunia (WHO).

Wakil Ketua Komisi VII DPR RI, Lamhot Sinaga, menyampaikan penolakannya terhadap upaya Kemenkes tersebut, mengingat Indonesia hingga kini tidak meratifikasi FCTC dan telah konsisten menolaknya karena dianggap mengancam keberlangsungan industri tembakau dalam negeri.

Meski begitu, Kemenkes tetap mencoba mengadopsi aturan internasional itu lewat Rancangan Permenkes terkait penyeragaman kemasan rokok.

“Terkait wacana penyeragaman kemasan rokok (tanpa identitas merek) dalam Rancangan Permenkes yang diambil dari aturan FCTC yang telah berlaku di beberapa negara, tentu saya tidak sepakat. Dari segi industri, ini tentu tidak menguntungkan,” ujar Lamhot dalam keterangannya, Kamis, 10 April 2025.

Baca Juga: Kecewanya Pramono Anung dengan Kelakuan Satpol PP yang Bongkar Tenda Massa Aksi di DPR

Sementara itu, Presiden Prabowo Subianto tengah fokus membenahi perekonomian nasional, salah satunya dengan membuka lapangan kerja seluas-luasnya. Namun, menurut Lamhot, langkah Kemenkes yang memaksakan aturan dari organisasi internasional yang masih menuai kontroversi justru bisa memperburuk kondisi ekonomi nasional yang belum sepenuhnya stabil.

Ia menilai, jika kebijakan penyeragaman kemasan rokok diterapkan, maka akan ada dampak serius terhadap industri tembakau nasional, terutama pada sektor pendukungnya. Padahal, industri ini terbukti menyerap sekitar enam juta tenaga kerja dari berbagai lini, mulai dari petani, buruh pabrik, pedagang, hingga pelaku industri kreatif.

Aturan yang menghapus identitas merek dalam kemasan rokok tersebut, menurutnya, justru dapat menghantam seluruh mata rantai industri tembakau dan menimbulkan gelombang pemutusan hubungan kerja (PHK) secara massal.

“Industri ini memiliki kontribusi signifikan terhadap perekonomian negara,” katanya.

Lamhot juga menekankan bahwa industri tembakau merupakan salah satu industri asli Indonesia yang telah berdiri sejak lama dan perlu dijaga dari pengaruh kepentingan asing, termasuk dalam hal kebijakan. Ia menilai segala bentuk campur tangan dari luar terhadap kebijakan nasional, khususnya yang berpotensi melemahkan industri dalam negeri, merupakan ancaman terhadap kedaulatan negara.

Baca Juga: Usai UU TNI, DPR Bakal Revisi Undang-Undang Polri?

Sebagai negara yang berdaulat, Indonesia, kata Lamhot, memiliki hak penuh dalam menentukan arah kebijakan pengendalian tembakau berdasarkan kondisi dan kebutuhan nasional. Ia menegaskan bahwa konvensi internasional seperti FCTC seharusnya melalui proses pengesahan di DPR, bukan dimasukkan secara diam-diam melalui jalur birokrasi seperti yang dilakukan Kemenkes lewat Rancangan Permenkes.

Lamhot menegaskan ketidaksepakatannya apabila Indonesia diarahkan untuk mengikuti aturan FCTC. Ia menilai, di bawah pemerintahan Prabowo, arah pembangunan telah diatur melalui Asta Cita yang menyesuaikan dengan realitas dan kebutuhan lokal.

Ia menutup pernyataannya dengan menekankan pentingnya kebijakan pengendalian tembakau yang bijak, yakni yang mampu menyeimbangkan antara kepentingan kesehatan masyarakat dan perlindungan terhadap industri nasional serta keberlangsungan lapangan kerja. Kebijakan semacam ini, menurutnya, tidak boleh dikorbankan hanya demi memenuhi kepentingan asing.

“Indonesia tidak bisa diintervensi dari negara manapun untuk meratifikasi FCTC atau tidak,” pungkasnya.

x|close