Ntvnews.id, Jakarta - Kabar lawas soal Presiden ke-2 Republik Indonesia, Soeharto, diusulkan untuk mendapatkan gelar Pahlawan Nasional kembali mencuat. Kali ini, usulan masuk dari Provinsi Jawa Tengah ini telah memicu perdebatan sengit di berbagai kalangan.
Menteri Sosial Saifullah Yusuf menjelaskan proses pengusulan gelar Pahlawan Nasional melibatkan berbagai tahapan. Dimulai dari seminar yang melibatkan sejarawan, tokoh masyarakat, dan akademisi, usulan kemudian diteruskan oleh bupati atau wali kota ke gubernur, sebelum akhirnya sampai ke Kementerian Sosial. Di Kemensos, tim yang terdiri dari berbagai pihak akan mengevaluasi usulan tersebut sebelum diserahkan ke Dewan Gelar.
Tim yang dibentuk oleh Direktorat Jenderal Pemberdayaan Sosial Kemensos akan mengevaluasi setiap daftar nama pahlawan nasional yang diajukan oleh para gubernur di seluruh Indonesia.
“Nah, setelah itu, nanti kami matangkan. Saya akan mendiskusikan, dan memfinalisasi. Kami tanda tangani. Langsung kami kirim ke Dewan Gelar,” ujar Menteri yang karib disapa Gus Ipul ini usai acara halalbihalal Menteri Koordinator Bidang Pemberdayaan Masyarakat (Menko PM) di Jakarta, Minggu, 20 April 2025 malam.
Pada Selasa, 18 Maret 2025, Direktur Jenderal Pemberdayaan Sosial Kemensos, Mira Riyati Kurniasih, mengungkapkan dalam pernyataan tertulisnya di Jakarta bahwa terdapat sepuluh nama yang telah masuk dalam daftar calon Pahlawan Nasional 2025.
Berikut beberapa tokoh yang kembali diusulkan, antara lain Abdurrahman Wahid (Jawa Timur), Soeharto (Jawa Tengah), Bisri Sansuri (Jawa Timur), Idrus bin Salim Al-Jufri (Sulawesi Tengah), Teuku Abdul Hamid Azwar (Aceh), dan Abbas Abdul Jamil (Jawa Barat).
Selain itu terdapat empat nama baru yang ikut diajukan pada tahun ini, yakni Anak Agung Gede Anom Mudita (Bali), Deman Tende (Sulawesi Barat), Midian Sirait (Sumatera Utara), dan Yusuf Hasim (Jawa Timur).
Istana Bicara
Menteri Sekretaris Negara Prasetyo Hadi dalam konferensi pers (Antara)
Menanggapi usulan agar Presiden Soeharto diberi gelar pahlawan nasional, Mensesneg yang juga Juru Bicara Presiden Prasetyo Hadi menyatakan bahwa semua mantan presiden memiliki jasa yang patut dihargai.
"Saya kira begini ya, kalau berkenaan dengan usulan ya, usulan dari Kementerian Sosial terhadap Presiden Soeharto, saya kira kalau kami merasa bahwa apa salahnya juga? Menurut kami, mantan-mantan Presiden itu sudah sewajarnya untuk kita mendapatkan penghormatan dari bangsa dan negara kita," ujar Prasetyo Hadi di Kompleks Istana Kepresidenan, Jakarta, Senin, 21 April 2025.
"Ya ini tinggal tergantung versinya yang mana. Kalau ada masalah pasti semua kita ini kan tidak ada juga yang sempurna. Pasti kita ini ada kekurangan," jelasnya.
Dukungan dan Penolakan
Bambang Soesatyo (Bamsoet) (Istimewa)
Baca Juga: Pemerintah Diminta Tak Beri Gelar Pahlawan Nasional kepada Soeharto
Usulan ini makin kencang di akhir masa jabatan Presiden Joko Widodo, setelah MPR menghapus nama Soeharto dalam Tap MPR nomor 11 Tahun 1998 tentang Penyelenggaraan Negara yang Bersih dan Bebas Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme alias KKN, pada 23 September 2024 tahun lalu.
Fraksi Golkar merupakan pengusul yang penghapusan nama Soeharto dalam Tap MPR itu. Dari situ kemudian berkembang wacana pemberian gelar pahlawan nasional kepada mantan penguasa orde baru itu. Tak lama setelah Tap MPR itu dicabut, adalah sebuah organisasi Bambang Sadono Center secara resmi mengusulkan Soeharto sebagai calon pahlawan nasional melalui pemerintah provinsi Jawa Tengah.
Adalah mantan Ketua MPR RI, Bambang Soesatyo (Bamsoet), yang menjadi salah satu pendukung utama usulan ini. Ia menilai bahwa Soeharto layak mendapatkan gelar Pahlawan Nasional atas pengabdiannya memimpin Indonesia selama 32 tahun.
"Maka rasanya tidak berlebihan sekiranya mantan Presiden Soeharto dipertimbangkan oleh pemerintah yang akan datang dan oleh pemerintah mendapatkan anugerah gelar pahlawan nasional selaras dengan mendapatkan martabat kemanusiaan dengan peraturan perundangan," ujar Bamsoet dalam Silaturahmi Kebangsaan Pimpinan MPR RI bersama Keluarga Besar Presiden Kedua RI Jenderal Besar TNI (Purn) H. M. Soeharto di Kompleks Parlemen Senayan, Jakarta, Sabtu, 28 September 2024 silam.
Namun, tidak semua pihak sepakat. Gerakan Masyarakat Sipil Adili Soeharto menginisiasi petisi "Tolak Gelar Pahlawan Nasional untuk Soeharto!" di situs Change.org. Hingga, Senin 21 April 2025, sudah 3.885 orang menandatangani petisi ini.
Menurut Gerakan koalisi, rekam jejak Soeharto menunjukkan bahwa ia tidak memenuhi tiga kriteria dalam Pasal 2 UU nomor 21 Tahun 2009 tentang Gelar, Tanda Jasa, dan Tanda Kehormatan (GTK). "Selama 32 tahun kepemimpinannya sebagai Presiden, ia telah melakukan kekerasan terhadap warga sipil, pelanggaran HAM bahkan pelanggaran berat terhadap HAM, penyalahgunaan wewenang dan kekuasaan, serta praktik korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN)," tulis Gerakan Masyarakat Sipil Adili Soeharto.
Soeharto: Pahlawan atau Penjahat?
Soeharto (NTV)
Baca Juga: Mensos Kaji Soeharto Jadi Pahlawan Nasional
Soeharto adalah tokoh yang kompleks dalam sejarah Indonesia. Di satu sisi, ia dikenal sebagai "Bapak Pembangunan" yang membawa stabilitas dan pertumbuhan ekonomi. Di sisi lain, pemerintahannya ditandai oleh pelanggaran hak asasi manusia, korupsi, dan otoritarianisme.
Bagi sebagian orang, Soeharto adalah simbol kemajuan; bagi yang lain, ia adalah pengingat masa kelam. Pemberian gelar Pahlawan Nasional kepadanya dapat dianggap sebagai pengakuan atas jasa-jasanya, tetapi juga berisiko mengabaikan penderitaan yang dialami oleh banyak orang selama pemerintahannya.
Dalam menghadapi polemik ini, mungkin kita perlu merenung: apakah gelar Pahlawan Nasional hanya tentang jasa, atau juga tentang moralitas dan integritas? Dan jika Soeharto diberikan gelar tersebut, apakah kita juga harus mempertimbangkan tokoh-tokoh kontroversial lainnya?
Mari kita lihat sisi humor dari situasi ini. Bayangkan jika Soeharto benar-benar mendapatkan gelar Pahlawan Nasional, mungkin akan ada parade dengan tema "Orde Baru Reborn", lengkap dengan mars-mars pembangunan dan pidato-pidato yang mengingatkan kita pada era tersebut.
Namun, di balik semua itu, penting bagi kita untuk terus mengingat dan belajar dari sejarah, agar tidak mengulang kesalahan yang sama di masa depan.