Ntvnews.id, Jakarta - Baru tiga bulan kembali menjabat, Presiden AS Donald Trump sudah menghadapi sejumlah persoalan serius yang mengguncang landasan demokrasi di Amerika Serikat.
Dilansir dari DW, Rabu, 23 April 2025, membeebrkan Lembaga think tank Brookings Institute yang berbasis di Washington menyoroti adanya "retakan berbahaya dalam pilar-pilar demokrasi AS", yang kini diserang dari berbagai sisi.
Salah satu elemen utama dalam demokrasi Barat adalah supremasi hukum dan kepatuhan terhadap keputusan pengadilan. Namun, nilai-nilai tersebut kini tengah diuji di bawah pemerintahan Trump.
Salah satu contohnya adalah keputusan pemerintah yang mengabaikan putusan pengadilan dan tetap melaksanakan deportasi yang seharusnya ditunda. Salah satu kasus yang menjadi perhatian adalah Kilmar Abrego Garcia, yang secara keliru dideportasi ke penjara dengan pengamanan tinggi CECOT di El Salvador. Padahal, Mahkamah Agung AS telah menginstruksikan agar pemerintah mengupayakan pemulangannya ke Amerika. Hakim Federal Paula Xinis mengkritik bahwa "Sejauh ini belum ada tindakan" dari pemerintah.
Baca Juga: 7 Orang Tewas Usai Amerika Serikat Diterjang Tornado
Sikap Trump terhadap peradilan juga menuai kritik. Hakim James Boasberg, yang menangguhkan rencana deportasi pemerintah, diserang secara terbuka oleh Trump dengan sebutan "radikal sayap kiri yang gila." Bahkan, Trump mengancam akan memakzulkan Boasberg dan mempertimbangkan untuk menggantinya dengan hakim yang lebih mendukung dirinya.
Selain itu, Departemen Kehakiman digunakan sebagai alat untuk menekan pihak-pihak yang menentang Trump. Dalam beberapa minggu pertama masa jabatannya, sejumlah pegawai yang terlibat dalam penyelidikan terhadap dirinya diberhentikan atau dipindahkan.
Trump juga mengambil keputusan kontroversial dengan memberikan pengampunan kepada hampir semua dari 1.600 orang yang dihukum karena terlibat dalam penyerangan Capitol pada 6 Januari 2021. Ia juga menunjuk Pam Bondi, loyalis partainya, untuk menduduki posisi penting di Kementerian Kehakiman.
Pembatasan terhadap media
Media yang memberitakan secara kritis terhadap Trump sejak lama menjadi sasaran serangannya. Dalam pidatonya di Departemen Kehakiman pada pertengahan Maret, ia menyebut jaringan media besar seperti CNN dan MSNBC sebagai "korup dan ilegal."
Trump menuduh media tersebut menayangkan berita negatif tentang dirinya "97,6 persen sepanjang waktu" dan menyebut mereka sebagai "lengan politik Partai Demokrat." Dalam kampanyenya, ia juga mengancam akan mencabut izin siaran dari media yang tidak mendukungnya.
Baca Juga: Indonesia Kena Dampak Kenaikan Tarif Impor 32 Persen dari Amerika Serikat
Langkah lebih lanjut diambil ketika pemerintah menghentikan seluruh pendanaan untuk media luar negeri milik AS seperti Voice of America (VoA) dan Radio Liberty, yang kini terancam ditutup.
Pemerintah Trump juga mencabut akreditasi kantor berita Associated Press (AP) di Gedung Putih karena menolak menyebut Teluk Meksiko sebagai "Teluk Amerika," sesuai permintaan Trump.
Meskipun pengadilan menyatakan pencabutan itu tidak sah, pemerintah tetap mengabaikannya. Wartawan AP masih dilarang masuk ke Gedung Putih. Kini, Bloomberg dan Reuters juga tidak lagi mendapat jaminan tempat dalam konferensi pers resmi.
Perombakan struktur birokrasi
Dalam pidatonya di Kongres, Trump menyatakan bahwa "hari-hari birokrat yang tidak pernah dipilih berkuasa" telah berakhir, yang disambut gelak tawa dari Partai Demokrat. Hal ini dinilai ironis karena Elon Musk, penasihat presiden yang tak pernah dipilih melalui proses demokratis, justru yang memimpin upaya pemangkasan besar-besaran terhadap birokrasi negara sejak Januari.
Douglas Holtz-Eakin, mantan direktur Kantor Anggaran Kongres (CBO), mengkritik langkah Trump dengan mengatakan, "Mereka tidak memasuki lembaga untuk bekerja, melainkan untuk membongkar hal-hal yang tidak mereka setujui."
Baca Juga: Amerika Serikat Cabut Semua Visa Warga Negara di Afrika Ini, Kenapa?
PHK besar-besaran pun terjadi di berbagai sektor, termasuk perpajakan, lingkungan hidup, kesehatan, militer, dan kementerian lainnya. Regulasi lingkungan dilonggarkan, sementara anggaran untuk kesehatan dan jaminan sosial dipotong drastis. Lembaga bantuan pembangunan seperti USAID juga turut dibekukan.
Ada pula dugaan bahwa pemerintahan Trump memanfaatkan kecerdasan buatan untuk memata-matai pegawai negeri. Setidaknya satu lembaga federal dikabarkan memantau komunikasi internal guna mengidentifikasi dan memecat pegawai yang membuat pernyataan merugikan terhadap Trump. Sejumlah pihak menyebut kebijakan ini sebagai "pembersihan politik" terhadap aparatur negara.