Ntvnews.id, Jakarta - Pemimpin oposisi Israel, Yair Lapid, menuduh bahwa Perdana Menteri Benjamin Netanyahu pada Senin, 17 Juni 2024, telah mengancam keamanan nasional dan meninggalkan tentara negara itu di tengah konflik di Jalur Gaza.
Dilansir dari Al Arabiya, Rabu, 19 Juni 2024, komentar Lapid muncul sebelum pertemuan komite parlemen tentang urusan luar negeri dan pertahanan pada Selasa, yang akan membahas rancangan undang-undang untuk menurunkan usia pengecualian dari wajib militer bagi siswa yeshiva Haredi.
Rancangan undang-undang tersebut akan diputuskan melalui pemungutan suara pada pembacaan kedua dan ketiga sebelum menjadi resmi. Pertemuan ini juga bersamaan dengan protes dari kelompok ‘Brothers in Arms’, mantan tentara Israel yang memadvokasi wajib militer untuk semua warga Israel.
Krisis di Israel (Istimewa)
Para demonstran menuntut pengunduran diri pemerintah dan mendesak pemilihan umum yang lebih awal. Pada Senin minggu lalu, Knesset berhasil meloloskan pembacaan pertama rancangan undang-undang tersebut dengan suara 63-57.
Baca Juga: PM Israel Netanyahu Bubarkan Kabinet Perang, Ini Alasannya
“Besok, Komite Urusan Luar Negeri dan Keamanan akan memulai diskusi tentang undang-undang penghindaran dan penolakan,” tulis Lapid di X.
“Ini adalah pengkhianatan terhadap para prajurit, pengkhianatan terhadap para cadangan, pengkhianatan terhadap kelas menengah Israel, dan pengkhianatan terhadap IDF (tentara Israel),” imbuh dia.
“Pemerintah Israel merusak keamanan negara. Netanyahu menjual prajurit kita,” pungkas Lapid.
Wajib Militer di Israel
Saat ini, orang-orang Haredi bisa menghindari wajib militer pada usia 18 tahun, yaitu usia yang ditetapkan untuk wajib militer, dengan mendapatkan penangguhan tahunan untuk studi agama sampai mereka mencapai usia pengecualian pada 26 tahun.
Baca Juga: Konflik Internal, 2 Menteri Israel Bakal Jatuhkan PM Netanyahu Jika Lakukan Ini
Sejak tahun 2017, pemerintahan berturut-turut belum mencapai kesepakatan mengenai wajib militer bagi orang-orang Haredi setelah Mahkamah Agung membatalkan undang-undang tahun 2015 yang membebaskan mereka dari wajib militer, karena dianggap melanggar prinsip kesetaraan.
Sementara partai-partai keagamaan menolak wajib militer bagi orang-orang Haredi, partai-partai sekuler dan nasionalis mendukungnya, menyerukan agar para pelajar agama juga bertanggung jawab untuk "berbagi beban perang," yang menjadi tantangan besar bagi koalisi Netanyahu.
Komunitas Yahudi Haredi, yang berjumlah sekitar 13% dari populasi Israel yang mencapai sekitar 9,7 juta, tidak berpartisipasi dalam dinas militer karena fokus mereka pada studi Taurat, teks suci agama Yahudi.