Ntvnews.id, Jakarta - Kementerian Pertahanan Taiwan melaporkan bahwa mereka telah mendeteksi keberadaan 41 pesawat militer China di sekitar pulau tersebut dalam jangka waktu 24 jam. Insiden ini terjadi setelah Beijing mengancam para pendukung kemerdekaan Taiwan dengan hukuman mati.
Dilansir dari SCMP, Senin, 24 Juni 2024, China mengklaim Taiwan, yang merupakan negara demokratis dengan pemerintahan otonom, sebagai bagian dari wilayahnya.
Beijing juga menegaskan komitmennya untuk menggunakan kekuatan militer jika diperlukan untuk merebut kembali Taiwan di bawah kendali China.
Peta Taiwan dan China (VOA)
Dalam beberapa tahun terakhir, China telah meningkatkan tekanan terhadap Taipei dan melakukan latihan militer di sekitar pulau tersebut setelah dilantiknya Presiden Taiwan yang baru, Lai Ching-te, bulan lalu.
Baca Juga: Presiden Baru Taiwan Dilantik, Hadapi Kebuntuan Politik dan Terus Berjarak dengan China
Pada hari Sabtu, Kementerian Pertahanan Taiwan juga melaporkan bahwa mereka telah mendeteksi tujuh kapal angkatan laut China yang beroperasi di perairan sekitar Taiwan selama periode 24 jam hingga pukul 06.00 waktu setempat.
“Tiga puluh dua pesawat melintasi garis tengah Selat Taiwan,” kata kementerian itu dalam sebuah pernyataan, mengacu pada garis yang membagi dua jalur air sepanjang 180 kilometer (110 mil) yang memisahkan Taiwan dari China.
Baca Juga: Jelang Pelantikan Presiden, Anggota Parlemen Taiwan Ricuh Tolak RUU Reformasi Tidak Disahkan
Kementerian menambahkan bahwa pihaknya telah “memantau situasi dan memberikan tanggapan yang sesuai.”
Menurut laporan media pemerintah, serangan terbaru terjadi setelah China mengeluarkan panduan hukum pada Jumat, 21 Juni yang mengancam hukuman mati untuk kasus yang dianggap "sangat serius" terhadap pendukung kemerdekaan Taiwan yang "keras kepala."
Pada tanggal 25 Mei, Taiwan mencatat keberadaan 62 pesawat militer China di sekitar pulau tersebut dalam waktu 24 jam, jumlah terbanyak dalam satu hari tahun ini. Insiden ini terjadi saat China melakukan latihan militer setelah pelantikan Lai, yang dianggap Beijing sebagai "separatis berbahaya."