Ntvnews.id, Jakarta - Beberapa negara di Asia mengalami penurunan populasi karena rendahnya angka kelahiran, yang disebabkan oleh fenomena resesi seks. Fenomena ini mencakup penundaan pernikahan dan memiliki anak.
Beberapa negara bahkan telah menganggap hal ini sebagai kondisi darurat nasional yang memerlukan penanganan mendesak.
Dilansir dari The Guardian, Jumat, 5 Juli 2024, resesi seks menjadi ancaman serius terhadap populasi di negara-negara Asia, terutama di Asia Timur.
Hal ini terjadi karena masyarakat di Asia Timur mengalami proses penuaan yang cepat hanya dalam beberapa dekade setelah mengalami industrialisasi yang pesat.
Ilustrasi pernikahan (Pixabay)
Meskipun banyak negara di Eropa juga menghadapi populasi yang menua, dampak perubahan tersebut dapat diatasi dengan imigrasi, yang tidak secepat di Asia.
Para ahli memperkirakan bahwa pergeseran demografi global akibat resesi seks, khususnya di Asia, dipengaruhi oleh beberapa faktor seperti tuntutan kerja yang tinggi, stagnasi upah, kenaikan biaya hidup, perubahan persepsi terhadap pernikahan, kesetaraan gender, dan tingkat kepuasan hidup yang menurun di kalangan generasi muda.
Baca Juga: Resesi Seks Terjadi di Negara Tetangga RI, Banyak yang Pilih Adopsi Kucing
Meskipun demikian, beberapa negara di Asia yang mengalami resesi seks telah memulai upaya untuk menanggulangi masalah ini dengan memberlakukan program dan bantuan bagi warganya.
Mata Uang Jepang Yen (Istimewa)
Menurut survei yang dilakukan oleh Asosiasi Keluarga Berencana Jepang (JFPA), hampir setengah dari pasangan menikah di Jepang, yaitu 48,3 persen, tidak melakukan hubungan seks.
Persentase ini mengalami peningkatan dari sebelumnya 31,9 persen pada awal survei pada tahun 2004.
Sejumlah pasangan suami istri di Jepang menyatakan bahwa mereka memiliki kehidupan pernikahan yang baik, meskipun frekuensi hubungan seksual mereka jarang atau bahkan tidak ada.
Penelitian lain yang dilakukan oleh JFPA selama 20 tahun mengungkapkan alasan mengapa pasangan suami istri di Jepang jarang melakukan hubungan seksual meskipun sudah menikah.
Berdasarkan penelitian tersebut, sebanyak 22,3 persen perempuan di seluruh Jepang mengatakan bahwa mereka tidak melakukan hubungan seksual karena dianggap "mengganggu".
Presiden Korea Selatan dan Ibu negara Korea Selatan (Istimewa)
Korea Selatan dilaporkan memiliki salah satu tingkat kelahiran terendah di dunia sebagai akibat dari resesi seks yang melanda negara tersebut. Data menunjukkan bahwa tingkat kesuburan wanita di Korea Selatan pada tahun 2023 adalah 0,72 kelahiran, menurun dari tahun sebelumnya yang juga sebesar 0,72 kelahiran.
Meskipun terjadi penurunan dari tahun sebelumnya, negara ini masih membutuhkan tingkat kesuburan 2,1 untuk menjaga stabilnya populasi tanpa bantuan imigrasi.
Pemerintah Korea Selatan bahkan merencanakan pembentukan kementerian baru untuk menangani "darurat nasional" akibat tingkat kelahiran yang sangat rendah, di tengah krisis demografi yang semakin memburuk.
Fenomena resesi seks tidak hanya terjadi di Asia Timur tetapi juga merambah ke negara-negara di Asia Tenggara, seperti Thailand.
Pada September 2023, survei dari National Institute of Development Administration (NIDA) Thailand menunjukkan bahwa 44 persen responden mengaku kurang berminat untuk memiliki anak. Alasan utamanya adalah karena biaya pengasuhan anak yang semakin tinggi dan kekhawatiran akan beban mengasuh anak.
Selain masalah biaya, penurunan tingkat kelahiran juga mengakibatkan peningkatan jumlah lansia (orang lanjut usia) di Thailand. Populasi lansia yang berusia 60 tahun ke atas kini mencakup seperlima dari total populasi penduduk di negara tersebu
China melaporkan angka kelahiran yang mencatat rekor rendah pada tahun 2023, menandai penurunan populasi untuk dua tahun berturut-turut. Tren ini menunjukkan tantangan demografi yang semakin serius bagi negara dengan ekonomi terbesar kedua di dunia ini.
Menurut Biro Statistik Nasional China (NBS), tingkat kelahiran adalah 6,39 kelahiran per 1.000 orang, turun dari 6,77 kelahiran pada tahun sebelumnya.
Selain itu, angka kelahiran tersebut juga merupakan yang terendah sejak berdirinya Republik Rakyat Tiongkok pada tahun 1949.
Terdapat 9,02 juta bayi yang lahir pada tahun tersebut, dibandingkan dengan 9,56 juta bayi pada tahun 2022. Total populasi turun menjadi 1,409 miliar pada tahun 2023, mengalami penurunan sebesar 2,08 juta orang dibandingkan tahun sebelumnya, demikian kata Biro Statistik Nasional.
Singapura (Istimewa) Singapura, seperti dilaporkan oleh CNBC (18/9/2023), mengalami tingkat kelahiran terendah di antara negara-negara di Asia Tenggara pada tahun 2022, mencatat rekor terendah setelah mengalami penurunan selama beberapa tahun.
Kelahiran hidup mengalami penurunan sebesar 7,9 persen tahun lalu, yang disebabkan oleh biaya hidup yang tinggi di negara tersebut. Biaya hidup yang tinggi ini telah membuat banyak orang enggan menambah keluarga mereka, menyebabkan fenomena resesi seks yang berlanjut.
Meskipun demikian, angka kelahiran sedikit meningkat pada tahun 2022, naik menjadi 1,12 dari 1,1 pada tahun sebelumnya, terutama karena dampak pandemi Covid-19 yang membuat orang tinggal di rumah.
Meski ada peningkatan sedikit dalam angka kelahiran, tren kesuburan menunjukkan bahwa wanita cenderung menunda keputusan untuk memiliki anak atau bahkan tidak sama sekali.
Departemen Statistik Singapura mencatat bahwa wanita berusia antara 25-29 tahun sekarang lebih jarang melahirkan dibandingkan dengan wanita berusia antara 35-39 tahun.