Ntvnews.id, Jakarta - Sejak bergulir pada 24 Juni 2024, akhirnya sidang praperadilan Pegi Setiawan sampai pada pembacaan putusan hakim.
Saling bantah dan argumen serta pembuktian terjadi dalam sidang praperadilan sepanjang pekan lalu.
Kini publik menanti putusan praperadilan dari hakim tunggal Eman Sulaeman yang akan dibacakan hari ini, Senin, 8 Juli 2024.
Setelah mangkir dari sidang praperadilan Pegi Setiawan pada Senin, 24 Juni lalu, Polda Jawa Barat menghadirkan 15 kuasa hukum dalam sidang pertama praperadilan yang berlangsung di Pengadilan Negeri Kelas 1A Bandung, Jawa Barat.
Pada Senin, 1 Juli, di hari pertama sidang praperadilan, kuasa hukum Pegi Setiawan mengungkap sejumlah kejanggalan penetapan status tersangka kliennya.
Mereka berkeyakinan Polda Jabar telah menangkap orang yang salah. Tim penasihat hukum juga menyatakan ada error in persona yang diyakini telah membuat proses penyidikan hingga penetapan Pegi Setiawan sebagai tersangka sangat tidak relevan.
"Artinya kita menitikberatkan bahwa yang kami nilai di sini adalah salah orang, salah sasaran, salah objek atau error in persona. Itu yang kami tekankan di dalam permohonan praperadilan ini. Semoga pihak termohon mampu untuk menjawab apa yang menjadi gugatan atau permohonan kami, tinggal kita tunggu besok, seperti apa jawaban mereka," ujar salah satu kuasa hukum Pegi Setiawan, seperti diberitakan Nusantara TV dalam program NTV Morning, Senin (8/7/2024).
Kemudian, pada Selasa, 2 Juli 2024, tim kuasa hukum Polda Jawa Barat menolak semua dalil-dalil yang disampaikan kuasa hukum Pegi Setiawan.
Berdasarkan surat perintah dan surat tugas, penyidik telah melakukan penyelidikan terhadap sejumlah terpidana dan melakukan penetapan tersangka Pegi Setiawan setelah dilakukan gelar perkara.
"Mereka kalau misalkan membuat alibi-alibi juga kita sanggah. Seperti contohnya di Bandung, membuat pekerjaan rumah. Pekerjaan rumah itu mulai tanggal berapa? Itu Juli. Sedangkan pemilik rumah mengaku mulainya Agustus. Berarti dia bulan Juli tinggal di mana?" sebut Tim hukum Polda Jabar, Kombes Nurhadi Handayani.
Selanjutnya, kuasa hukum Pegi Setiawan merespon Polda Jawa Barat, dan menyebutnya 'ngelantur'. Sebab, penyidikan hasil tes psikologi sebagai alat bukti.
"Di dalam persidangan tadi saya berani mengatakan termohon itu 'ngelantur'. Yang dijawab sama mereka soal pertanyaan kami berbeda. Seharusnya mereka menjawab kepada kami. Di mana kami menangkap karena ini alasannya, alat buktinya ini. Seharusnya kami menahan dasarnya ini, tetapi mereka 'ngelantur'. Dan 'ngelantur' itu, mereka menceritakan masalah BAP. Ini BAP diceritakan buat apa? Mereka mengatakan kalau hasil dari psikologi yang dijadikan alat bukti," imbuh salah satu kuasa hukum Pegi Setiawan.
Sementara dalam sidang lanjutan pembuktian praperadilan Pegi Setiawan pada Rabu, 3 Juli 2024, tim kuasa hukum Pegi Setiawan menghadirkan ahli pidana dari Universitas Jayabaya Jakarta, Prof. Suhandi Cahaya, selaku saksi ahli dan Dede sebagai saksi.
Suhandi Cahya mematahkan argumen Polda Jawa Barat. Dia menyatakan penetapan tersangka Pegi Setiawan dalam kasus pembunuhan Vina dan Eky oleh Polda Jawa Barat bisa digugurkan.
"Jadi kalau misalnya tidak terbukti, maka praperadilan itu ditolak. Apabila pemohon praperadilan bisa membuktikan bahwa ada satu hak-hak asasi tersangka yang dilanggar oleh penyidik, maka bisa dikabulkan tuntutan praperadilan itu," ungkap Suhandi Cahaya.
Sementara itu, saksi pemohon, Dede menyebut Pegi Setiawan tidak memiliki nama lain. "Saudara mengenal Pegi Setiawan sejak 2015, kalau dihitung dengan tahun ini berarti sekitar 9 tahun?" tanya kuasa hukum Pegi Setiawan.
"Iya," jawab saksi.
"Apakah saudara mengetahui bahwa Pegi Setiawan itu ada nama lain," tanya kuasa hukum Pegi Setiawan lagi.
"Nggak ada," jawab saksi lagi.
"Apakah saudara mengetahui Pegi Setiawan itu memakai alias Perong," tanya kuasa hukum Pegi Setiawan.
"Nggak ada," jawab saksi.
Pada Kamis, 4 Juli 2024, giliran Polda Jawa Barat yang menghadirkan saksi ahli hukum pidana.
Saksi ahli pidana dari Universitas Pancasila, Prof. Agus Surono dalam sidang menyebut, sosial media dapat menjadi alat bukti sebagaimana yang terdapat dalam pasal 184 KUHP dan sebagai petunjuk dalam suatu kasus pidana.
"Jadi memang di dalam kaitannya dengan akun Facebook itu memang bisa saja dikualifikasikan sebagai alat bukti. Namun tidak masuk dalam kategori alat bukti surat, tapi ini bisa dijadikan sebagai petunjuk, meskipun nanti akan dikonfirmasi lagi dalam pemeriksaan pokok perkaranya," terang Agus Surono.
Lalu, pada Jumat, 5 Juli 2024, sidang praperadilan Pegi Setiawan berlangsung singkat. Kedua pihak dalam sidang praperadilan menyampaikan kesimpulan masing-masing kepada majelis hakim Eman sulaeman.