Ntvnews.id, Rafah - Israel telah memulai serangan ke Rafah, titik paling Selatan Gaza Palestina, meskipun mendapat kecaman dari sebagian besar dunia, termasuk Amerika Serikat (AS).
Dilansir dari Al Arabiya, Selasa, 7 Mei 2024, Perdana Menteri Benjamin Netanyahu mengulangi seruannya terkait serangan itu. Ia menyebut hal ini dilakukan meski Israel dan milisi penguasa Gaza, Hamas, mencapai kesepakatan sandera.
"Kami akan masuk ke Rafah karena tidak ada pilihan lain. Kami akan menghancurkan batalion Hamas di sana, kami akan menyelesaikan semua tujuan perang, termasuk kembalinya semua sandera kami," ujarnya.
Benjamin Netanyahu (Istimewa)
Rafah, sebagai titik paling Selatan Gaza, kini menjadi tempat pengungsian bagi 1,4 juta orang. Mereka tinggal di tempat-tempat yang padat seperti tenda-tenda, tempat penampungan PBB yang penuh sesak, atau apartemen yang serba sesak, dan mereka bergantung pada bantuan internasional untuk makanan.
Dikutip dari Anadolu, menyebutkan bahwa sejak Israel menyatakan perang sebagai respons terhadap serangan lintas batas Hamas pada 7 Oktober, Netanyahu mengatakan tujuan utamanya adalah menghancurkan kemampuan militer kelompok itu.
Israel mengatakan Rafah adalah benteng besar terakhir Hamas di Jalur Gaza, setelah operasi di tempat lain membubarkan 18 dari 24 batalyon kelompok militan tersebut. Meski begitu, Hamas telah berkumpul kembali di beberapa daerah Gaza Utara dan terus melancarkan serangan.
Ditolak Dunia
Presiden AS Joe Biden telah menerapkan garis merah bahwa pihaknya tidak akan mendukung serangan lebih lanjut Israel ke wilayah Rafah. Ini disebabkan potensi kerusakan dan kematian yang banyak.
Rabu lalu, Menteri Luar Negeri AS Antony Blinken mengunjungi Israel dan melakukan percakapan dengan Netanyahu. Beberapa sumber melaporkan bahwa diskusi itu sangat alot di saat keduanya membicarakan mengenai kemungkinan operasi Israel di Rafah.
"Kami tidak ingin melihat operasi darat besar-besaran di Rafah. Tentu saja, kami tidak ingin melihat operasi yang tidak mempertimbangkan keselamatan dan keamanan," timpal juru bicara Keamanan Nasional AS John Kirby.