Ntvnews.id, Jakarta - Penegakan hukum di Indonesia dikritik banyak pihak karena dianggap tidak memberi rasa keadilan. Bahkan muncul istilah No Viral No Justice yang berkonotasi meragukan kinerja aparat penegak hukum.
Kepolisian yang merupakan salah satu dari unsur penegakan hukum di Indonesia juga tidak lepas sorotan publik. Apalagi belakangan ini terjadi dua kasus besar yang disebut-sebut melibatkan oknum-oknum polisi. Baik di kasus Vina Cirebon maupun kasus kematian siswa SMP berusia 13 tahun Afif Maulana di Sumatera Barat.
Polisi menyebut tidak ada penganiayaan dalam kasus kematian Afif Maulana. Korban meninggal akibat terjatuh dari jembatan. Tapi pihak keluarga korban tak percaya begitu saja, mereka terus berupaya agar kasus kematian Afif diusut tuntas.
Mantan Wakapolri Komjen Pol Oegroseno mengatakan seharusnya jangan terlalu cepat menyimpulkan bahwa tidak ada kasus penganiayaan.
"Apakah yang diduga merasa dituduh polisi menganiaya atau masyarakat menganiaya kan ini harus dibuktikan dulu," kata Oegroseno dalam DPO Podcast dikutip dari YouTube NusantaraTV, Senin (29/7/2024).
Oegroseno menegaskan peristiwa meninggalnya korban harus dibuktikan dengan olah tempat kejadian perkara (TKP) semaksimal mungkin.
"Jadi masyarakat jangan mengambil langkah-langkah sendiri. Sehingga akhirnya begitu masyarakat yang lebih banyak menemukan fakta, polisi kewalahan," ujarnya.
"Bagi saya, satu, jangan buru-buru menyatakan bahwa kasus ini bukan akibat penganiayaan oleh polisi. Tidak ada yang menuduh kok. Orang kan engga berani nuduh bahwa ini pasti polisi pelakunya," lanjutnya.
"Tapi dibuktikan meninggalnya gara-ara apa? Jam berapa dia meninggal? Apakah sebelum jatuh dia sudah meninggal? Kan ini harus pakai keterangan dokter dan sebagainya. Jadi
sekali lagi ekstra hati-hati untuk bisa mengungkap peristiwa apa yang sebenarnya terjadi," imbuhnya.
Ditanyakan ada apa dengan kepolisian sehingga terkesan tidak responsif dalam kasus Vina dan Afif. Seolah harus viral dulu baru diusut. No viral no justice.
Menurut Oegroseno dengan perkembangan teknologi informasi komunikasi seperti sekarang ini, tidak ada yang bisa lari dari jejak digital. Tak hanya soal hukum, melainkan soal politik, ekonomi dan sosial semua terekam dalam jejak digital.
Karena itu, kata Oegroseno, ke depan kalau bisa setiap polisi dilengkapi dengan alat perekam.
"Jadi kembali lagi basic untuk melaksanakan tugas itu dari dulu sampai sekarang enggak berubah. Pasti kumpul dulu. Bisa di ruangan bisa di lapangan diarahkan oleh pimpinannya. Jadi tidak asal berangkat tugas seperti itu. Saya mau patroli jalan-jalan mau sekalian makan. Engga adaada aturan seperti itu," beber Oegroseno.
Bahkan di era kepemimpinan Kapolri Anton Sudjarwo tahun 80-an, ungkap Oegroseno, aturan soal makan bagi personel kepolisian sangat ketat. Personel polisi dilarang makan di dalam kendaraan dinas dan tidak boleh dilihat masyarakat.
"Kalau makan harus cari tempat yang tersembunyi. Kapolri Anton Sudjarwo itu kan dari Brimob tapi beliau kepingin polisi itu jangan sampai dilihat tidak baik," pungkasnya.