Duduk Perkara Proyek Diduga Fiktif Rp80 Miliar di Kemenperin

NTVNews - 10 Mei 2024, 07:57
Moh. Rizky
Penulis
Siti Ruqoyah
Editor
Bagikan
Gedung Kementerian Perindustrian. (Net) Gedung Kementerian Perindustrian. (Net)

Ntvnews.id, Jakarta - Kementerian Perindustrian (Kemenperin) menemukan kasus dugaan penerbitan Surat Perintah Kerja (SPK) fiktif dengan nilai total Rp 80 miliar, yang diduga melibatkan oknum pegawai dan pihak ketiga penerima SPK.

Pihak penerima SPK, PT VSS membantah pernyataan Kemenperin bahwa perusahaan itu menerima SPK fiktif. VSS pun meminta sisa pembayaran proyek yang telah mereka kerjakan.

Kuasa hukum aparatur sipil negara (ASN) Kementerian Perindustrian (Kemenperin), LHS, membantah pernyataan VSS yang menyebut Kemenperin belum melakukan pembayaran terhadap 105 event atau kegiatan yang mereka sudah kerjakan.

Menurut kuasa hukum LHS, Angga Busra Lesmana, pembayaran tak dilakukan kliennya karena ada mekanisme yang tak dijalankan VSS yang merupakan perusahaan event organizer (EO) itu.

"VSS tidak memberikan ke klien kami data yang benar, laporan yang rigid, sehingga klien kami tidak memberikan kepada dia BAST Berita Acara Serah Terima bahwa kegiatan tersebut telah diakui," ujar Angga kepada wartawan, Kamis (9/5/2024).

"Jadi bisa kemungkinan kegiatan yang dilakukan VSS diduga 'fiktif' atau tidak diterima LHS karena tidak sesuai sebagai penanggungjawab kegiatan," imbuhnya.

Audit dari pelaksanaan kegiatan juga tak ada, sehingga permintaan pembayaran oleh VSS tak dipenuhi. Karena tak sesuai ketentuan, kata Angga, pembayaran tak dilakukan. "Kalau dilakukan pembayaran, maka takutnya ada kerugian negara. Kalau ada kerugian negara kan yang repot klien kami," jelas dia.

Atas persoalan ini, gugatan secara perdata maupun jalur pidana akan ditempuh oleh pihak LHS. Sebab, kata Angga, upaya penagihan pembayaran VSS ke Kemenperin yang dalam hal ini ke kliennya, tak berdasar. Selain itu, penagihan juga dilakukan dengan cara-cara yang dinilai merugikan LHS.

"Ada beberapa pertemuan-pertemuan antara klien kami dengan pihak VSS yang isinya penekanan. Dinyatakan klien kami harus membayar sejumlah uang. PT VSS juga melakukan perampasan mobil dari klien kami Honda Civic tahun 2018 atas nama istri klien. Itu dilakukan alasannya karena klien kami PPK dalam proyek tersebut," papar Angga.

LHS, kata Angga, juga terguncang jiwanya. Ini karena saat pertemuan yang merupakan upaya penagihan, kliennya mengaku dianiaya ringan. "Kepalanya dikeplak. Ada juga orang gebrak meja," ucapnya.

Pihaknya telah melayangkan somasi sebanyak dua kali, namun hingga kini tak direspons. Sementara saat kuasa hukum VSS melayangkan somasi, pihaknya menurut Angga telah memberikan jawaban.

Atas itu semua, gugatan perbuatan melawan hukum (PMH) didaftarkan pihak LHS ke Pengadilan Negeri Jakarta Barat. Gugatan ini menuntut ganti rugi immateril Rp100 miliar dan materil Rp400 juta. Pihak tergugat ialah pimpinan VSS dan perusahaan itu sendiri. Sementara upaya laporan ke polisi, masih akan disusun.

"Kerugian materil karena mobil klien kami dirampas. Sementara immateril, akibat dari tindakan VSS klien kami tidak bisa masuk kantor lagi, klien kami sudah lama tidak masuk kantor karena malu. Karena ditagih-tagih," tutur Angga.

"Istrinya juga malu, nama baiknya tercoreng, sehingga kenyamanan dalam bekerja sudah tidak ada," imbuhnya.

Tim pengacara LHS yang beranggotakan lima orang sedang mengumpulkan bukti-bukti lanjutan. Tim juga akan menyelesaikan semua permasalahan LHS. "Jadi agar semua pihak dapat bersabar dengan proses yang ada," ucap Angga.

Halaman
x|close