Ntvnews.id, Jakarta - Hari ini (1/10), tepat dua tahun yang lalu. Tragedi Kanjuruhan mengguncang sepak bola Indonesia. Sebanyak 135 penonton tewas setelah terjadi kerusuhan yang melibatkan aparat keamanan dan puluhan suporter yang turun ke lapangan.
Sebagian besar tewas berdesak-desakan di pintu keluar. Tua-muda, bahkan anak-anak meregang nyawa. Kegembiraan keluarga pun berubah jadi petaka. Pergi bertiga, dua pulang tinggal nama.
Baca juga: Arema Melempem di Liga 1 2024/2025, 3 Hal Ini Jadi Sorotan
Akmal Marhali, salah satu anggota Tim Gabungan Pencari Fakta (TGPF) yang dibentuk pemerintah masih bersuara mengenai tragedi ini. Menurutnya, keluarga korban masih menuntut keadilan.
"Yang pasti keluarga korban masih mencari keadilan yang sejauh ini hanya dibebankan kepada 5 tersangka yang sudah divonis," kata Akmal saat dihubungi NTVnews, Selasa (1/10/2024).
"Padahal, masih banyak pelaku lain yang harusnya mendapatkan hukuman sepadan. Termasuk dari pihak suporter yang invasi lapangan," beber pendiri Save Our Soccer itu menambahkan.
Sesuai namanya, Tragedi Kanjuruhan terjadi di Stadion Kanjuruhan, pada 1 Oktober 2022 lalu. Saat itu, tuan rumah Arema FC tengah menjamu Persebaya Surabaya di laga lanjutan Liga 1.
Kedua tim ini memang dikenal musuh bebuyutan. Namun gesekan antarsuporter bukan penyebabnya karena para pendukung Baju Ijo atau Bonek sama sekali dilarang hadir.
Dalam laga ini, Arema kalah 2-3. Para penonton yang kecewa kemudian turun ke lapangan.
Jumlahnya semakin banyak. Situasi tak terkendali. Aparat keamanan kewalahan menghalau mereka hingga kemudian memilih untuk melepaskan tembakan gas air mata ke berbagai arah.
Tindakan ini tak hanya membuat suporter di lapangan kocar-kacir. Mereka yang berada di atas tribun panik. Perihnya gas air mata membuat mereka berebut untuk mencari pintu keluar.
Korban pun berjatuhan. Sebagian meregang nyawa di lokasi kejadian, termasuk anak-anak.
Korban ke-135 dinyatakan meninggal dunia pada 24 Oktober 2022 sekaligus menjadikan Tragedi Kanjuruhan sebagai tragedi sepak bola paling mematikan kedua di dunia setelah kerusuhan di Estadio Nacional, Peru 1964 yang telah menewaskan 328 orang.
Lima orang dinyatakan bersalah dalam Tragedi Kanjuruhan. Mereka adalah Suko Sutrisno (Kepala Keamanan Arema FC), Abdul Haris (Ketua Panpel Arema), Hasdarman (Komandan Brimob Jawa Timur), Wahyu Setyo Pranoto (Kepala Bagian Operasional Polres Malang), dan Bambang Sidik Achmadi (Kepala Satuan Samapta Polres Malang).