Ntvnews.id, Jakarta - Sikap rasisme di sepak bola masih terus terjadi. Hal ini juga terjadi di Indonesia, bahkan menimpa pemain usia dini. Pengalaman buruk inilah yang turut dialami atlet muda sepak bola dari Papua Football Academy (PFA).
PFA merupakan akademi sepak bola yang didirikan PT Freeport Indonesia (PTFI). PFA hadir menindaklanjuti keinginan Presiden ke-7 RI Joko Widodo (Jokowi), agar talenta muda Tanah Papua dikembangkan.
"Karena warna kulit, anak-anak pernah dibilang mirip monyet," ujar Nugroho Setiawan, PFA Safeguardian Committee Chairman, Minggu (20/10/2024).
Untungnya, PFA sudah secara serius mengantisipasi hal tersebut. Pencegahan dilakukan melalui adanya PFA Children Safeguarding, sebuah pedoman yang tujuannya menghadirkan sepak bola ramah bagi anak, yang mendukung peningkatan kualitas mereka. Berbagai hal diatur dalam sistem perlindungan yang diadopsi dan dikembangkan dari FIFA Guardian itu.
"Jadi ketika ada yang dibilang monyet, kami minta mereka jangan marah," ucapnya.
"Kalau itu terjadi di luar asrama, keluar, tinggalkan (mereka yang mengatakan hal itu). Kalau di asrama (saat tur), lapor ke coach (pelatih)," imbuh Nugroho.
Selain itu, Nugroho meminta para atlet remaja dan anak dari PFA membuktikan kualitasnya dalam bermain sepak bola saat dihina demikian. Hal tersebut, menurut dia kerap dibuktikan atlet yang 'bermarkas' di Mimika Sport Complex (MSC), Kabupaten Mimika, Provinsi Papua Tengah ini. Hasilnya pun berakhir manis.
"Saat kita dihina monyet, tunjukkan ke mereka yang menghina, kita beda, kita menang, kita beda, kita bisa. Hasilnya ketika itu saya dapat laporan anak-anak jadi top skor (pencetak gol terbanyak dalam turnamen sepak bola)," papar Nugroho.
Nugroho Setiawan, PFA Safeguardian Committee Chairman.
Banyak dampak positif dari penerapan PFA Children Safeguarding. Ciri khas orang wilayah timur Indonesia yang 'keras', termasuk ketika bermain bola, seakan luntur pasca diberlakukannya secara ketat pedoman prinsip dasar tersebut di Akademi.
"Waktu main di Sidoarjo saya liput. Mereka (atlet PFA) diapresiasi oleh penonton warga setempat, karena mainnya bagus. Setelah pertandingan mereka cium tangan ke warga, dan warga sampai nangis lihat itu," tutur wartawan senior, Mohammad Ali Mahrus.
"Mereka juga humble banget saat main. Pernah juga waktu main lalu ada pemain PFA yang Muslim, dengar azan langsung salat. Dikasari di lapangan mereka nggak terpengaruh," imbuhnya.
Budaya sopan-santun, tertib dan disiplin memang sangat ditegakkan di PFA. Bahkan dalam hal-hal kecil sekali pun, termasuk urusan makan. Di asrama yang terdapat pada MSC, mereka terbiasa membereskan perlengkapan makannya usai bersantap. Anak-anak juga diminta mengucapkan terima kasih kepada pegawai PFA yang senantiasa membantu mereka.
Mereka pun diminta menyapa dengan ucapan "selamat pagi" hingga "selamat malam", ketika bertemu pelatih dan staf Akademi lainnya, maupun tamu.
"Pernah kita waktu away (main bola di kandang lawan) kita naik bus berhenti di rest area tol, makan. Lalu setelah makan dia bawa piring dan sendoknya, sambil tanya ke ibu yang punya warung 'Ini taruh dimana?'," tutur Nugroho.
Dalam hal teknik bermain bola, cara-cara curang juga tak diajarkan Akademi kepada anak didiknya. Padahal dalam beberapa kesempatan, jika cara-cara tersebut tak dilakukan pihak lawan, PFA bisa menjadi juara sejumlah kompetisi.
Hal ini, kata Nugroho dilakukan demi menjaga integritas pemain dan semangat fair play sejak dini.
"Kami pernah jadi runner up, yang seharusnya saya lihat kita juara. Tipu muslihat sama sekali nggak kita ajarin," kata dia.
"Sampai anaknya (pemain PFA) bilang 'Tuhan Yesus saya salah apa?' Dia (lawan) pura-pura (jatuh) cuma senggolan lengan, kena kartu kuning anaknya," imbuh Nugroho.
Terkait aktivitas keagamaan, turut ditekankan kepada para atlet juga melalui tujuh prinsip PFA Children Safeguarding. Pada poin kelima PFA Children Safeguarding, atlet dan seluruh stakeholder PFA diminta bersikap religius dan bertanggungjawab. Ketentuan ini diatur, mempertimbangkan berbagai hal, termasuk pengalaman-pengalaman yang didapat sebelumnya.
"Orang Papua sangat religius. Saat puasa, mereka yang non-Muslim ikut bantu sediakan takjil. Saat Natal, yang Muslim membantu yang Nasrani. Tidak ada perbedaan, mereka sangat toleran," paparnya.
Dalam kurikulum pendidikan di PFA, anak-anak didik turut diajarkan bagaimana menghadapi kenyataan bahwa mereka adalah minoritas. Utamanya saat mereka bermain di luar Tanah Papua.
Termasuk bisa menerima fasilitas yang minimalis, dibanding dengan fasilitas terbaik yang mereka terima di PFA. Sebab, kata dia, harus diakui saat bertanding di luar PFA, mereka kerap mendapati berbagai fasilitas yang minim terkait sepak bola, mulai dari lapangan, kamar mandi hingga ruang ganti.
"Kalau tanding away, fasilitas pasti tidak selengkap kita. Karena itu anak-anak diajari menerima minimum fasilitas. Termasuk jadi minoritas di tempat baru, karena agama, warna kulit, rambut keriting, tinggi badan. Jadi kami siapkan juga kurikulum bagaimana bersiap jadi minoritas," tutur Nugroho.
Persoalkan kenakalan remaja juga tak lepas membayangi para atlet di PFA. Berbagai macam kenakalan dilakukan. Namun hal itu bisa dibendung dengan peraturan yang ada, sikap tegas penegak aturan, sanksi yang dijatuhkan dan aspek lainnya.
Menurut Nugroho, salah satu sanksi yang menurut anak didik berat ialah tidak boleh ikut latihan sepak bola.
"Ada pelanggaran sanksinya dilarang latihan, nggak boleh pegang bola. Wah nangis mereka, manyun, diam mereka di pinggir lapangan. Karena mereka gila bola semua. Subuh-subuh aja bangun sudah jedag-jedug tendang bola," kata dia.
Jika melakukan pelanggaran, mereka dihukum maksimal tak ikut tiga kali latihan.
"Kadang mereka sekolah pamit ke ibu guru, ke toilet. Lebih dari 15 menit, ternyata main bola. Bosan mereka. Gila bola anak-anak ini," imbuh Nugroho.
Sanksi yang dianggap para atlet berat lainnya, ialah mereka dilarang menggunakan ponsel. Setiap hari Minggu, Akademi memang mengizinkan anak didik untuk memakai ponsel, salah satunya guna menghubungi keluarga.
"Karena kalau dihukum nyapu malah tambah senang mereka. Apalagi kalau disuruh pimpin doa," ucap Nugroho yang merupakan FIFA dan AFC Security Officer ini.
Lapangan sepak bola dengan rumput alami di MSC.
Ada sanksi terberat menurut Nugroho yang dijatuhkan PFA terhadap anak didiknya. Salah satunya minum minuman beralkohol atau minuman keras (miras). Tak ada ampun bagi pelanggaran jenis ini. Pelanggar akan dikeluarkan dari Akademi.
Walau demikian, sisi kemanusiaan tetap dikedepankan dalam penjatuhan sanksi.
"Ada tiga anak kami DO. Tetapi hingga kini masih di sini, tidur di sini. Yang kami hentikan program sepak bolanya, sekolah tetap kami tanggung di sini," tutur Nugroho.
"Kami juga kasih kesempatan menjadi hakim garis dalam kompetisi. Senang mereka, akhirnya menyesal. Tapi ya aturan tetap aturan," sambungnya.
Saat ini ada 60 anak yang dibina PFA menjadi pesepak bola profesional. Mereka terbagi dalam dua angkatan, yakni angkatan tahun kelahiran 2010 dan 2011. Mereka digembleng selama dua tahun. Guna menjaga kedisiplinan dan ketertiban mereka selama di Akademi, ada guardian atau penjaga yang berasal dari pelatih dan staf lainnya. Seorang guardian, menjaga setidaknya enam anak selama 24 jam.
Namun demikian, persoalan muncul ketika mereka pulang ke rumah orangtuanya dalam rangka liburan. Begitu kembali ke Akademi, tak jarang mereka melakukan pelanggaran, salah satunya membawa rokok. Ini beberapa kali dilakukan oleh anak didik yang berasal dari wilayah kota di Papua. Seperti biasa, sanksi sesuai porsi pelanggaran dijatuhkan.
"Kalau anak gunung pulang kurus, karena orang tuanya hari itu dia dapat ubi itu yang dia makan. Dapat kuskus hari itu, itu yang dia makan," tuturnya.
Kendati libur pulang ke rumah masing-masing, mereka tetap diawasi oleh staf Akademi. Pengawasan dilakukan secara daring. Meski begitu, upaya ini sering terkendala sinyal jaringan komunikasi, utamanya terhadap anak didik yang tinggal di kawasan pegunungan.
"Tapi setelah kembali ke Akademi, satu minggu dilakukan penyesuaian. Porsi latihan dinaikkan, coach pintar," kata dia.
Tidak cuma melarang, semua pihak yang bertugas menegakkan aturan juga menjelaskan mengapa larangan dibuat. Mereka harus memaparkan dampak atau akibat dari adanya pelanggaran peraturan. Misalnya soal larangan berhubungan seks, yang diatur di PFA.
"Dari tiga angkatan PFA, 2009, 2010 dan 2011, yang terakhir ini rata-rata sudah pacaran. Karena itu kami ingatkan, bahwa ketika anak-anak pacaran, berhubungan dekat lalu hubungan seks dengan pacarnya. Dan akhirnya hamil, sehingga anak tersebut harus keluar PFA. Kenapa? Karena kita bilang 'kamu harus cari makan buat hidupi anak dan istrimu'," paparnya.
"Mereka akhirnya paham. Jadi kita harus beri penjelasan, jangan cuma melarang tapi tak menjelaskan," imbuh Nugroho.
Tempat latihan Papua Football Academy (PFA) di Mimika Sport Complex (MSC).
Selain latihan sepak bola, selama di PFA mereka juga difasilitasi untuk mengenyam pendidikan formal. Selain menghadirkan home schooling, Akademi juga bekerja sama dengan sekolah negeri setempat, dari tingkat SD sampai SMA.
Sehingga, kelak mereka bukan cuma menjadi atlet sepak bola profesional yang disiplin, memiliki integritas dan etika, tapi juga dibekali kemampuan intelektual.
"PFA ingin membangun karakter anak Papua, melalui kecerdasan sepak bola," tandas Nugroho.