Ntvnews.id, Jakarta - Korea Selatan (Korsel) diperkirakan tidak akan mengenakan tarif bea masuk terhadap kendaraan listrik (electric ehicle/EV) asal China meskipun ada kekhawatiran terkait kemungkinan pembalasan perdagangan dari negara ekonomi terbesar kedua di dunia tersebut, menurut para ahli dan pejabat industri pada Senin, 23 Desember 2024.
Hal ini berbeda dengan kebijakan yang diambil Amerika Serikat (AS) dan Uni Eropa (UE), yang tengah berusaha menaikkan tarif impor kendaraan listrik China.
Sejak September, AS menggandakan tarif impor untuk kendaraan listrik buatan China menjadi 100 persen, sementara UE memutuskan untuk memberlakukan tarif yang lebih tinggi, hingga 45,3 persen, terhadap kendaraan listrik asal China.
Seperti dilaporkan The Korea Times, Kementerian Perdagangan, Industri, dan Energi Korea juga sedang mempertimbangkan untuk mengenakan bea masuk terhadap kendaraan listrik China, mengingat rencana BYD untuk mulai menjual kendaraannya di Korea pada Januari 2025.
Kementerian tersebut sedang menyiapkan pedoman hukum yang mengatur kemungkinan sanksi terhadap barang impor China. Namun, para ahli industri menyatakan ancaman tersebut tidak mungkin terjadi, karena ekonomi Korea sangat bergantung pada perdagangan internasional.
"Korea tidak dapat mengambil langkah ini karena ekonomi negara ini masih sangat bergantung pada China," ujar Lee Ho-geun, profesor teknik otomotif di Universitas Daedeok.
"Ini membuat Korea rentan terhadap kemungkinan pembalasan perdagangan dari China," tambahnya.
Baca Juga: Nio ET9, Sedan Listrik Seharga Rp1,81 Miliar Ludes Terjual 999 Unit Hanya Beberapa Jam Usai Dirilis
China juga semakin mengintensifkan retorikanya mengenai potensi sanksi Korea terhadap kendaraan listrik asal China. Media yang dikendalikan pemerintah China menilai kebijakan semacam itu pada akhirnya akan merugikan kepentingan perusahaan dan warga negara Korea.
Profesor Lee juga mengungkapkan sangat kecil kemungkinan Korea akan mengenakan tarif atau regulasi keras terhadap kendaraan listrik buatan China, mengingat situasi politik di negara tersebut saat ini.
"Partai Demokratik Korea, yang merupakan oposisi utama, lebih mendukung kebijakan yang pro-China, sehingga akan sulit bagi pemerintah untuk melanjutkan kebijakan semacam itu," kata Profesor Lee.
Data dari Asosiasi Perdagangan Internasional Korea menunjukkan pada 2023, Korea memiliki ketergantungan ekspor terhadap Chinaa sebesar 19,7 persen, menjadikannya yang tertinggi di dunia. Sementara itu, ketergantungan Korea terhadap AS tercatat sebesar 18,3 persen pada periode yang sama.
Pejabat industri mengungkapkan Korea tidak bisa mengikuti langkah AS atau Uni Eropa dalam hal regulasi terhadap China, karena ekonomi Korea akan sangat terpengaruh dalam skenario seperti itu.
"Meskipun kebijakan ini menunjukkan arah yang benar di tengah meningkatnya proteksionisme global pasca kepresidenan Donald Trump, ekonomi Korea rentan terhadap perubahan eksternal karena ketergantungannya pada perdagangan internasional," kata seorang pejabat industri otomotif.
Pejabat tersebut juga menyatakan Hyundai Motor dan Kia, yang merupakan dua produsen mobil besar Korea, akan menghadapi risiko besar dari pembalasan China jika Korea menjatuhkan sanksi terhadap kendaraan listrik Negeri Tirai Bambu tersebut.
"Kedua produsen mobil ini tengah berusaha mengalihkan fokus mereka ke pasar China dengan melakukan investasi besar-besaran di sana, namun nasib mereka bisa terancam jika kedua negara terlibat dalam sengketa perdagangan yang tidak perlu," tambah pejabat tersebut.