Helena Lim Tampung Duit Korupsi Timah Milik Harvey Moeis

NTVNews - Berita Hari Ini, Terbaru dan Viral - 21 Agu 2024, 15:58
Moh. Rizky
Penulis
Beno Junianto
Editor
Bagikan
Helena Lim. (Antara) Helena Lim. (Antara)

Ntvnews.id, Jakarta - 'Crazy rich' Pantai Indah Kapuk (PIK), Helena Lim, didakwa terlibat kasus korupsi pengelolaan timah yang merugikan keuangan negara Rp 300 triliun. Jaksa penuntut umum (JPU) menyebut, Helena memberikan sarana money changer miliknya guna menampung uang korupsi pengelolaan timah yang diperoleh suami artis Sandra Dewi, Harvey Moeis.

JPU menyatakan, Helena selaku pemilik PT Quantum Skyline Exchange (PT QSE) menampung uang 'pengamanan' dari Harvey Moeis terkait kegiatan kerja sama smelter swasta dengan PT Timah Tbk.

Jaksa menyebut ada lima smelter swasta yang bekerja sama dengan PT Timah Tbk, yakni PT Refined Bangka Tin beserta perusahaan afiliasinya, CV Venus Inti Perkasa beserta perusahaan afiliasinya, PT Sariwiguna Binasentosa beserta perusahaan afiliasinya, PT Stanindo Inti Perkasa beserta perusahaan afiliasinya, dan PT Tinindo Internusa beserta perusahaan afiliasinya. Harvey Moeis merupakan perwakilan dari PT Refined Bangka Tin.

"Terdakwa Helena memberikan sarana kepada Harvey Moeis yang mewakili PT Refined Bangka Tin dengan menggunakan perusahaan money changer miliknya yakni PT Quantum Skyline Exchange untuk menampung uang pengamanan sebesar USD 500 sampai dengan USD 750 per ton yang seolah-olah sebagai dana corporate social responsibility atau CSR dari CV Venus Inti Perkasa, PT Sariwiguna Binasentosa, PT Stanindo Inti Perkasa dan PT Tinindo Internusa yang berasal dari hasil penambangan ilegal dari wilayah IUP PT Timah Tbk," ujar jaksa dalam dakwaannya, di Pengadilan Tipikor Jakarta, Rabu (21/8/2024).

Adapun kasus inj bermula saat Rencana Kerja Anggaran dan Biaya (RKAB) periode 2015-2019 ilegal terhadap lima perusahaan smelter disetujui oleh Kadis ESDM Provinsi Bangka Belitung periode tersebut. RKAB itu hanya digunakan sebagai formalitas untuk mengakomodasi pengambilan dan pengelolaan bijih timah secara ilegal dari wilayah IUP PT Timah Tbk.

Pada tahun 2019, pemilik smelter mengetahui jika tak akan mendapatkan persetujuan RKAB lantaran tak memiliki competent person (CP). Mereka mengusulkan ke PT Timah Tbk untuk dibuatkan suatu kesepakatan agar bijih timah ilegal milik smelter swasta dapat dijual dan dilakukan pemurnian serta pelogaman tapi syarat pembayaran semuanya harus dilakukan PT Timah.

Singkat cerita, kerja sama tersebut disepakati padahal tak termuat dalam rencana kerja anggaran perusahaan (RKAP) PT Timah Tbk tahun 2018. Selain itu, jaksa mengatakan kesepakatan program kerja sama sewa peralatan processing pelogaman timah PT Timah Tbk juga merupakan akal-akalan, di mana harga sewanya jauh melebihi nilai HPP smelter PT Timah.

Harga sewa peralatan processing pelogaman timah itu juga dibuat tanpa feasibility study dengan kajian tanggal mundur (back date). Kesepakatan harga sewa itu sebesar USD 3.700 per ton SN di luar harga bijih timah yang harus dibayar oleh PT Timah Tbk ke CV Venus Inti Perkasa, PT Stanindo Inti Perkasa, PT Tinindo Internusa, PT Sariwiguna Binasentosa, namun khusus PT Refined Bangka Tin, yakni smelter yang diwakili Harvey diberi penambahan insentif sebesar USD 300 per ton SN sehingga nilai kontrak khusus untuk PT Refined Bangka Tin menjadi sebesar USD 4.000 per ton SN.

Harvey Moeis, yang merupakan inisiator program kerja sama sewa peralatan processing pelogaman timah, meminta pihak-pihak smelter menyisihkan sebagian dari keuntungan yang dihasilkan sebagai uang pengamanan. Jaksa mengatakan uang pengamanan itu dijadikan seolah-olah sebagai dana corporate social responsibility (CSR), yakni sebesar USD 500-750 per ton.

Uang pengamanan seolah-olah dana CSR senilai USD 30 juta atau Rp 420 miliar itu ditampung Helena melalui PT QSE dan dicatat sebagai penukaran valuta asing. Helena merupakan pemilik PT QSE namun tak tercatat dalam akta pendirian perusahaan money changer tersebut.

"Bahwa setelah uang masuk ke rekening PT Quantum Skyline Exchange selanjutnya oleh terdakwa Helena ditukarkan dari mata uang rupiah ke dalam mata uang asing ke dolar Amerika yang seluruhnya kurang lebih sebesar USD 30 juta yang kemudian diberikan tunai kepada Harvey Moeis secara bertahap yang diantar oleh kurir PT Quantum Skyline Exchange," kata jaksa.

Jaksa mengatakan Helena mendapatkan keuntungan Rp 900 juta. Keuntungan itu diperoleh Helena melalui penukaran valuta asing yang dilakukan di PT QSE.

"Atas penukaran uang Harvey Moeis, CV Venus Inti Perkasa, PT Sariwiguna Binasentosa, PT Stanindo Inti Perkasa dan PT Tinindo Internusa, terdakwa Helena melalui PT Quantum Skyline Exchange mendapatkan keuntungan seluruhnya kurang lebih sebesar Rp 900 juta dengan perhitungan Rp 30 kali USD 30 juta, jumlah yang ditukarkan di PT Quantum Skyline Exchange," ujar jaksa.

Uang tersebut diserahkan Helena ke Harvey secara transfer dan tunai. Harvey lalu menyerahkan sebagian uang itu ke PT Refined Bangka Tin dan untuk kepentingan pribadinya yang seolah tak ada kaitannya dengan uang hasil tindak pidana korupsi.

Uang yang diterima Harvey melalui Helena dari PT QSE pada 2018-2023 berlangsung dalam empat kali transfer, yakni transfer pertama senilai Rp 6.711.215.000 (Rp 6,7 miliar), transfer kedua senilai Rp 2.746.646.999 (Rp 2,7 miliar), transfer ketiga senilai Rp 32.117.657.062 (Rp 32,1 miliar), dan keempat Rp 5,5 miliar.

Dalam pelaksanaannya, JPU mengungkap PT Timah membeli bijih timah kadar rendah dengan harga kadar tinggi yang ditambang oleh penambang ilegal di dalam wilayah IUP PT Timah. Sementara itu, penentuan tonase bijih timah yang dibeli menggunakan 'metode kaleng susu' tanpa uji laboratorium.

"Telah mengakibatkan keuangan keuangan Negara sebesar Rp 300.003.263.938.131,14 atau setidaknya sebesar jumlah tersebut berdasarkan Laporan Hasil Audit Penghitungan Kerugian Keuangan Negara Perkara Dugaan Tindak Pidana Korupsi Tata Niaga Komoditas Timah Di Wilayah Ijin Usaha Pertambangan (IUP) di PT Timah, Tbk Tahun 2015 sampai dengan Tahun 2022 Nomor PE.04.03/S-522/D5/03/2024," kata jaksa.

Helena turut didakwa melakukan tindak pidana pencucian uang (TPPU). Jaksa mengatakan Helena menyamarkan transaksi terkait uang pengamanan seolah-olah dana CSR dari Harvey Moeis.

"Bahwa dalam melakukan sejumlah transaksi uang dari pengumpulan dana pengamanan seolah-olah CSR tersebut, terdakwa Helena menggunakan beberapa rekening dan beberapa money changer yang disembunyikan dan disamarkan," kata JPU.

Penyamaran transaksi dilakukan di antaranya dengan menuliskan tujuan transaksi ke Harvey Moeis disamarkan sebagai setoran modal usaha atau pembayaran utang-piutang. Padahal, kata jaksa, tak ada hubungan utang-piutang atau modal usaha antara Helena ataupun PT QSE dan Harvey Moeis.

JPU mengatakan transaksi itu juga tak sesuai dengan peraturan yang berlaku, tak menggunakan kartu identitas penduduk dan tak dicatat dalam transaksi keuangan PT QSE. Helena juga tak melaporkan transaksi itu ke Bank Indonesia serta Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK).

Jaksa menyebut Helena juga dengan sengaja menghilangkan atau memusnahkan bukti transaksi keuangan yang dilakukan oleh Harvey Moeis dkk. Harta benda milik Helena yang diduga terkait TPPU juga telah disita seperti mobil hingga tas mewah.

Helena Lim didakwa melanggar Pasal 2 ayat (1) dan Pasal 3 juncto Pasal 18 UU Tipikor juncto Pasal 56 ayat (1) ke-1 KUHP dan Pasal 3 serta Pasal 4 UU No 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan TPPU juncto Pasal 56 ke-1 KUHP.

Halaman
x|close