5 Fakta RUU Penyiaran yang Kontroversial, Tuai Penolakan dari Dewan Pers

NTVNews - 17 Mei 2024, 10:35
Dedi
Penulis
Tasya Paramitha
Editor
Bagikan
Rapat paripurna DPR RI. (Antara) Rapat paripurna DPR RI. (Antara)

Ntvnews.id, Jakarta - Revisi Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2002 tentang Penyiaran atau RUU Penyiaran menuai kontoversi. Draf yang saat ini dalam proses pemeriksaan di Badan Legislasi (Baleg) DPR RI tersebut dinilai bakal menghambat kebebasan pers di Indonesia. 

Bahkan, beberapa pasal secara gamblang melarang adanya penayangan eksklusif jurnalistik investigasi. Hal ini karena bisa saja mengganggu proses pro justitia aparat penegak hukum dan membentuk opini publik terhadap proses penegakan hukum. 

Klaim ini menjadi alasan Komisi I DPR RI untuk menambahkan pasal larangan penayangan karya jurnalisme investigasi dalam draf RUU Penyiaran tersebut. Nah, untuk mengetahui lebih lanjut, berikut ulasan mengenai fakta RUU Penyiaran yang dimaksud. 

  1. Larang Jurnalistik Investigasi

Salah satu pasal yang menuai polemik adalah pasal 50B ayat (2) huruf c yang memuat aturan Standar Isi Siaran (SIS) yang melarang “penayangan eksklusif jurnalistik investigasi’ dalam panduan kelayakan isi siaran dan konten siaran. 

Larangan ini tentu saja akan mengancam kemerdekaan pers dan bertentangan dengan Pasal 4 ayat (2) UU Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers yang mengatur pers nasional tidak dikenakan penyensoran, pembredelan, atau pelarangan penyiaran. 

  1. Tidak Memasukan UU Pers

Sekretaris Jenderal Aliansi Jurnalis Independen (AJI), Bayu Wardhana meminta supaya DPR RI menghapus pasal-pasal yang dinilai bermasalah. Bayu juga mengatakan bahwa seharusnya DPR menjadikan UU Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers sebagai rujukan utama.

Jika mengacu pada UU tersebut, diharapkan tidak ada lagi pasal-pasal yang bermasalah. Namun, konsideran draf RUU Penyiaran yang saat ini masih digodok di Badan Legislasi DPR RI tidak mencantumkan UU Pers sama sekali. 

  1. Wajib Verifikasi Siaran ke KPI

Rapat paripurna DPR RI. (Antara) Rapat paripurna DPR RI. (Antara)

Dalam Pasal 34F ayat (2) huruf e mengatur tentang penyelenggara platform digital penyiaran dan/atau platform teknologi penyiaran wajib memverifikasi konten siarannya ke KPI sesuai dengan Pedoman Perilaku Penyiaran (P3) dan Standar Isi Siaran (SIS). 

Penyelenggara siaran yang dimaksud termasuk kreator yang menyiarkan konten lewat YouTube, TikTok, dan media berbasis UGC lainnya. Aturan ini bertabrakan dengan UU Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE) yang mengatur platform berbasis UGC. 

  1. AJI Tolak RUU Penyiaran

Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Indonesia menolak revisi UU Nomor 32 Tahun 2022 Tentang Penyiaran, yang saat ini masih bergulir di DPR. Mereka menolak pasal-pasal yang dianggap bermasalah dan berpotensi menimbulkan polemik di kemudian hari. 

"AJI menolak. Pasal-pasalnya banyak bermasalah. Jadi kalau dipaksakan akan menimbulkan masalah," kata Pengurus Nasional AJI Indonesia Bayu Wardhana di Jakarta, Rabu 24 April 2024, seperti dikutip dari Antara.

  1. Dewan Pers Juga Menolak

Dewan Pers dan para konstituen juga menegaskan menolak draf RUU Penyiaran yang saat ini masih dalam tahap pembahasan di DPR RI. Mereka menilai bahwa RUU Penyiaran ini akan menghilangkan karya kebebasan pers dalam melahirkan karya jurnalistik. 

"RUU Penyiaran ini menjadi salah satu sebab pers kita tidak merdeka, tidak independen dan tidak akan melahirkan karya jurnalistik yang berkualitas," kata Ketua Dewan Pers Ninik Rahayu dalam konferensi pers di Kantor Dewan Pers Jakarta Pusat, Selasa 14 Mei 2024.

Halaman
x|close