Poin-poin RUU Penyiaran yang Jadi Kontroversi

NTVNews - 17 Mei 2024, 11:47
Adiansyah
Penulis
Siti Ruqoyah
Editor
Bagikan
Komunitas Pers Tolak Draf RUU Penyiaran Komunitas Pers Tolak Draf RUU Penyiaran (dewanpers.or.id)

Ntvnews.id, Jakarta - Draf revisi Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2002 tentang Penyiaran atau RUU Penyiaran yang tengah dibahas Badan Legislasi (Baleg) DPR menuai kontoversi.

Draf tersebut saat ini masih dalam proses pemeriksaan Baleg yang dianggap memuat sejumlah pasal kontroversial, terutama berkaitan dengan kegiatan jurnalistik.

Untuk mengetahui lebih lanjut mengenai poin apa saja yang jadi kontroversi, mari simak ulasannya di bawah yang telah dihimpun dari berbagai sumber.

1. Pasal 15 ayat (2) huruf c

Dalam pasal ini disebutkan jika fungsi Dewan Pers yang antara lain menetapkan serta mengawasi pelaksanaan Kode Etik Jurnalistik (KEJ).

Maka sesuai dengan UU Pers tidak ada lembaga lain yang memiliki fungsi serta wewenang untuk menetapan dan mengawaji KEJ.

Sementara di pasal yang sama, huruf d menerangkan jika fungsi Dewan Pers memberikan pertimbangan dan mengupayakan penyelesaian atas pengaduan masyarakat, adanya kasus yang berhubungan dengan pemberitaan pers.

2. Ditempuhkannya Mediasi oleh KPI

Draf RUU Penyiaran mengatakan ditempuhnya mediasi oleh KPI kalau terjadi sengketa. Hal tersebut hanya mungkin dilaksanakan untuk siaran non-berita.

Jika pada akhirnya dilakukan mediasi untuk sengeketa pemberitaan, maka hal tersebut seolah menafikan keberadaan pasal 15 ayat (2), terkhusus huruf c dan d UU Pers.

3. Upaya Membedakan Antara Produk Jurnalistik

Kemudian poin yang menjadi kontroversi selanjutnya di draf RUU Penyiaran, yakni adanya upaya untuk membedakan antara produk jurnalistik oleh media massa konvensional dengan produk serupa oleh media yang menggunakan frekuensi telekomunikasi.

Di pasal 1 UU Pers dijelaskan, jika penyampaian informasi dari kegiatan jurnalistik dilakukan dalam bentuk media cetak, elektronik, dan semua saluran yang ada.

Dalam poin ini jelas tidak adanya pembedaan antara produk jurnalistik satu platform dengan platform yang lainnya.

4. Larangan Penayangan Jurnalisme Investigasi

Ilustrasi Pers atau Penyiar Ilustrasi Pers atau Penyiar

Poin selanjutnya yakni larangan penayangan jurnalisme investigasi di draf RUU Penyiaran juga bertentangan dengan pasal 4 ayat (2) UU Pers.

Hal tersebut menyatakan, bahwa terhadap pers nasional tak dikenakan penyensoran, pemberedelan, atau pelarangan penyiaran.

Dampak dari larangan akan membungkam kemerdekaan pers. Padahal dalam pasal 15 ayat (2) huruf a, fungsi Dewan Pers adalah melindungi kemerdekaan pers dari campur tangan pihak lain.

Sementara, dalam hal ini pers pada dasarnya bekerja bukan untuk diri sendiri atau institusi tempatnya bekerja. Pers bekerja demi menghasilkan karya jurnalistik untuk memenuhi hak publik dalam mendapatkan informasi.

Sedangkan hak publik untuk memperoleh informasi merupakan hak asasi manusia yang sangat hakiki. Maka larangan menyiarkan karya jurnalistik jelas bertentangan dengan hak asasi manusia.

Selanjutnya peniadaan sensor yang pemuatan berita itu buah dari reformasi. Pers dan masyarakat menghendaki kemerdekaan dalam pemberitaan yang sesuai dengan kaidah jurnalistik dan koridor lain, menuntut tanggung jawab pers.

Sangat disayangkan kalau kemerdekaan pers dan kebebasan berekspresi tersebut kembali ditarik mundur dalam kehidupan berbangsa yang seharusnya kian demokratis. 

Poin-poin di atas yang pada akhirnya menjadi kontroversi, mendasari Dewan Pers untuk mengajukan keberatan atau menyampaikan masukan terhadap sejumlah pasal di draf RUU Penyiaran supaya tak tumpang-tindih, bahkan kontradiktif dengan UU Pers.

Dewan Pers juga dalam hal ini telah menggelar rapat bersama seluruh konstituen, meyatakan sepakat untuk meminta penundaan revisi RUU Penyiaran dan memastikan pelibatan masyarakat lebih luas.

Halaman
x|close