Syarat Umur Calon Kepala Daerah Banyak Digugat, MK: Aneh

NTVNews - Berita Hari Ini, Terbaru dan Viral - 29 Jul 2024, 17:47
Moh. Rizky
Penulis
Siti Ruqoyah
Editor
Bagikan
Gedung MK. (Antara) Gedung MK. (Antara)

Ntvnews.id, Jakarta - Hakim Mahkamah Konstitusi (MK) Arief Hidayat mengaku heran dengan banyaknya gugatan soal syarat usia calon kepala daerah. Menurut dia, penafsiran aturan yang tak diatur secara eksplisit dalam Undang-Undang Dasar (UUD) 1945 merupakan kewenangan pembentuk Undang-Undang, yakni DPR bersama pemerintah.

Ini dinyatakan Arief dalam sidang Nomor 88, 89, 90/PUU-XXII/2024 yang digelar di Gedung MK, Jakarta Pusat, Senin (29/7/2024). Tiga gugatan itu diajukan orang yang berbeda, namun pada intinya sama-sama menggugat syarat usia calon kepala daerah.

Perkara nomor 88 tersebut, diajukan Sigit Nugroho Sudibyanto. Pemohon meminta agar pasal 7 ayat 2 huruf e UU 10/2016 tentang Pilkada diubah menjadi 'berusia paling rendah 30 tahun untuk calon Gubernur dan Wakil Gubernur dan 25 tahun untuk calon Bupati dan Wakil Bupati atau calon Wali Kota dan Wakil Wali Kota terhitung sejak pendaftaran pasangan calon'.

Perkara nomor 89 diajukan oleh Arkaan Wahyu Re A. Pada intinya, pemohon meminta Pasal 7 ayat (2) huruf e UU Pilkada diubah menjadi 'berusia paling rendah 30 tahun untuk calon Gubernur dan Wakil Gubernur dan 25 tahun untuk Calon Bupati dan Wakil Bupati atau Calon Wali Kota dan Wakil Wali Kota terhitung sejak Penetapan Pasangan Calon'.

Perkara nomor 90 diajukan oleh Syukur Destieli Gulo dkk. Gugatan ini pada intinya meminta MK mengubah Pasal 7 ayat 2 huruf e UU Pilkada menjadi 'berusia paling rendah 30 tahun untuk calon Gubernur dan Wakil Gubernur dan 25 tahun untuk Calon Bupati dan Wakil Bupati atau Calon Wali Kota dan Wakil Wali Kota terhitung sejak pelaksanaan pemungutan suara'.

Para pemohon sama-sama mempermasalahkan tidak adanya batasan waktu secara jelas soal kapan syarat usia calon kepala daerah dihitung.

Para pemohon juga menyinggung soal putusan MA yang mengubah PKPU yang awalnya mengatur syarat usia dihitung saat penetapan paslon menjadi dihitung saat pelantikan. Wakil Ketua MA Saldi Isra yang menjadi ketua panel mengatakan sidang tiga gugatan ini sengaja digabung karena kesamaan dalam pasal yang digugat.

Usai para pemohon membacakan gugatannya, hakim MK pun memberi nasihat dan masukan. Dalam momen itulah hakim MK Arief Hidayat menyampaikan keheranannya.

Mulanya, Arief mengungkit soal banyaknya gugatan yang diajukan ke MK terkait syarat usia. Dia menilai hal itu dari dua sisi. Pertama, hal itu positif karena menunjukkan masyarakat yang peduli hukum. Kedua, dia merasa aneh karena penafsiran hal-hal yang secara eksplisit tidak diatur dalam UUD 1945 harusnya merupakan urusan DPR dan pemerintah.

"Hal-hal yang sekarang diujikan ini hal yang sebetulnya sudah jelas, aneh. Kenapa gitu? bunyi undang-undangnya jelas, kemudian, putusan MK sudah menjelaskan itu," ujar Arief.

Ia sendiri merupakan salah satu hakim yang menyampaikan pendapat berbeda atau dissenting opinion dalam gugatan terkait syarat usia capres-cawapres beberapa waktu lalu. Arief pun meminta para pemohon membaca lagi putusan terkait usia capres-cawapres tersebut.

Namun demikian, Arief menyebut MK tak bisa membatasi warga yang hendak mengajukan gugatan. Arief mengatakan tiga gugatan ini juga hanya berbeda pada batu uji atau rujukan pasal dalam UUD 1945. Namun, Arief mengatakan pasal-pasal yang dirujuk itu juga tak berisi penjelasan eksplisit terkait syarat usia calon kepala daerah.

"Apakah memang betul di antara pasal-pasal itu ada menetapkan secara eksplisit usia? Apakah ada secara eksplisit pasal-pasal Undang-Undang Dasar itu menetapkan usia? Kalau tidak ada, berarti penetapan usia, syarat usia, itu siapa yang berhak menentukan? Kalau di Undang-Undang Dasar, di konstitusi tidak ada," kata dia.

"Dalam pelajaran ilmu hukum, kuliah ilmu hukum, kalau di konstitusi tidak eksplisit ditentukan, maka itu kewenangannya siapa? Sekali lagi, saya bilang, menurut pendapat saya itu bukan kewenangan badan peradilan, tapi itu kewenangan pembentuk undang-undang. Mau digeser-geser ke mana-mana boleh terserah pembentuk undang-undang siapa di Indonesia? Presiden dan DPR," imbuh Arief.

Ia menyebut, urusan usia calon kepala daerah ini adalah open legal policy. Dia mengatakan MK memang bisa memutus atau membuat penafsiran terhadap UU yang tidak diatur eksplisit di UUD, namun hanya untuk hal-hal yang melanggar hak asasi.

"Itu udah jelas open legal policy. Lah, sekarang dipersoalkan berkali-kali di mana-mana. Kecuali mahkamah sudah pernah memutus. Itu bertentangan dengan hal-hal yang intolerable melanggar hak asasi itu boleh mahkamah menafsirkan," tandasnya.

Halaman
x|close