Revisi UU Pilkada Ciderai Penguatan Demokrasi Lokal dan Efektivitas Penyelenggaraan Pemerintahan Daerah

NTVNews - Berita Hari Ini, Terbaru dan Viral - 21 Agu 2024, 21:54
Adiansyah
Penulis
Tasya Paramitha
Editor
Bagikan
Rapat kerja pembahasan Rancangan Undang-Undang (RUU) tentang Perubahan Keempat atas Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2015 (RUU Pilkada) di kompleks parlemen, Senayan, Jakarta, Rabu (21/8/2024). Rapat kerja pembahasan Rancangan Undang-Undang (RUU) tentang Perubahan Keempat atas Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2015 (RUU Pilkada) di kompleks parlemen, Senayan, Jakarta, Rabu (21/8/2024). (ANTARA/Melalusa Susthira K.)

Ntvnews.id, Jakarta - Komite Pemantauan Pelaksanaan Otonom Daerah (KPPOD) memberikan menyoroti tentang hasil pembahasan Rancangan Undang-Undang tentang Perubahan Keempat atas Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2015.

Hal ini, Tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 Tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, Dan Walikota Menjadi Undang-Undang (RUU Pilkada) yang dilaksanakan pada 21 Agustus 2024 siang ini telah mencederai kepastian hukum, akuntabilitas pemilihan kepala daerah dan berpotensi mengganggu efektivitas penyelenggaraan pemerintahan daerah ke depan.

Revisi UU Pilkada ini pun terlihat sebagai upaya menganulir Putusan Mahkamah Konstitusi Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 60/PUU-XXII/2024. Hasil revisi UU Pilkada ini menimbulkan ketidapastian hukum karena bertentangan dengan Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 60/PUU-XXII/2024 tanggal 20 Agustus 2024.

Baca Juga: 

Jokowi Tegaskan Sikap Hormat pada Keputusan MK dan DPR soal Pilkada

Putusan yang bersifat final dan mengikat ini menegaskan prinsip keadilan dan kesetaraan dalam kompetisi pemilihan kepala daerah. Selain itu, keputusan ini membuka peluang bagi calon kepala daerah alternatif untuk bersaing secara efektif dalam melawan koalisi yang dominan.

Di samping itu, Putusan MK Nomor 70/PUU-XXII/2024 tanggal 20 Agustus 2024 juga menegaskan bahwa syarat usia pencalonan kepala daerah harus dihitung sejak penetapan pasangan calon oleh KPU, bukan sejak pelantikan calon terpilih.

Rapat Badan Legislasi DPR terkait pembahasan RUU Pilkada di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Rabu (21/8/2024) <b>(Antara/ Melalusa Susthira K)</b> Rapat Badan Legislasi DPR terkait pembahasan RUU Pilkada di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Rabu (21/8/2024) (Antara/ Melalusa Susthira K)

Putusan ini mencerminkan semangat penguatan demokrasi lokal di tengah upaya pelanggengan politik dinasti saat ini. Lebih dari itu, hasil revisi UU Pilkada kontraproduktif dengan upaya menjadikan pilkada sebagai sistem yang melahirkan kepala-kepala daerah yang berkapasitas dan berintegritas.

Kapasitas dan integritas kepala daerah merupakan variabel yang sangat menentukan tata kelola pemerintahan daerah yang baik. Artinya, selain mengganggu sistem pemilihan kepala daerah yang berlandaskan Luber dan Judil (Langsung, Umum, Bebas, Rahasia, Jujur, dan Adil).

Baca Juga: 

Baleg DPR Sebut RUU Pilkada Tak Melenceng dari Putusan MK

Revisi UU Pilkada yang serampangan ini berpotensi merusak integritas dan efektivitas pemerintahan daerah, serta mengancam upaya mencapai ultimate goal otonomi daerah: kesejahteraan masyarakat.

Maka dengan itu, KPPOD (Komite Pemantauan Pelaksana Otonomi Daerah/Regional Autonomy Watch) menyatakan sikap sebagai berikut:

1. Mendukung penuh pelaksanaan Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 60/PUUXXII/2024 dan Putusan MK Nomor 70/PUU-XXII/2024 yang dibacakan pada 20 Agustus 2024, dan menolak revisi UU Pilkada yang dapat merusak integritas dan keadilan dalam proses pemilihan kepala daerah di Indonesia.

2. Meminta Pemerintah dan DPR mematuhi Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 60/PUU XXII/2024 dan Putusan MK Nomor 70/PUU-XXII/2024.

3. Meminta KPU untuk menindaklanjuti Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 60/PUU XXII/2024 dan Putusan MK Nomor 70/PUU-XXII/2024 yang dibacakan MK pada 20 Agustus 2024.

4. Meminta Pemerintah dan DPR untuk merancang Undang-Undang dengan pertimbangan hukum yang tepat, tidak ugal-ugalan dan sesuai dengan prosedur hukum, serta melibatkan masyarakat melalui partisipasi yang bermakna (meaningful participation).

Halaman
x|close